SEBUAH MATA RANTAI SEJARAH YANG TERPUTUS
Oleh ; Mustafa Mansur, SS
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku Utara
Staf Pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Pengantar
Perjalanan
waktu yang panjang dari kehidupan manusia di daerah ini hingga
keberadaan kita saat ini, cenderung secara alamiah maupun tindakan
ketidaksadaran manusia melunturkan fakta-fakta sejarah. Oleh karena itu,
kesadaran untuk menguak kembali fakta-fakta historis sebagai landasan
berpijak ke depan yang lebih baik adalah tindakan yang sangat bijaksana.
Tindakan ini merupakan salah satu makna belajar sejarah, yakni menjadi
manusia yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak.
Mengacu
pada topik di atas, maka makna belajar sejarah dari tulisan ini paling
tidak dapat menggugah kesadaran akan nilai-nilai sejarah tanpa harus
terjebak pada romantisme masa lalu. Untuk itu bagi generasi Loloda,
adalah sesuatu yang tidak berlebihan jika mempelajari sejarahnya
sekaligus merekonstruksi nlai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai
upaya merancanag bagun masa depan negerinya yang lebih baik.
B. Loloda dalam Kerumunan Politik di Masa Lalu
Perkembangan
sejarah Maluku Utara telah memperlihatkan bahwa Loloda merupakan sebuah
kawasan dengan komunitas masyarakat yang pada awalnya terbentuk melalui
jaringan kekuasaan tradisional. Kondisi ini adalah sesuatu yang tidak
bisa dipungkiri karena wilayah ini pernah dilegitimasi melalui
organisasi politik yang berbentuk kerajaan. Dalam catatan sejarah
politik di Maluku Utara, dijelaskan bahwa Kerajaan Loloda merupakan
salah satu Kerajaan Maluku yang tidak terkonfigurasi dalam kesatuan
Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Kenyataan ini
disebabkan Kerajaan Loloda tidak sempat menghadiri pertemuan Raja-raja
Maluku di Pulau Moti (Moti Staten Verbond) pada tahun 1322 yang
diprakarsai oleh Raja/Kolano Ternate Sida Arief Malamo.
Tidak
dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini
terbenuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber
dari Nagara Kartagama Majapahit sebagamana ditulis oleh MPU Prapnca
menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano di
Loloda Halmahera.
Menurut
Pemerhati Sejarah lokal Abdul Hamid Hasan dalam bukunya “Aroma Sejarah
dan Budaya Ternate” mengungkapkan bahwa secara umum Kerajaan-kerajaan
Maluku termasuk Kerajaan Loloda dan Kerajaan Moro berdiri pada abad
ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua
di Halmahera.
Dalam Kroniek Van
Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh
Coolchaas, dikisahkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo
Besy, putera Sultan Bacan yang pertama Said Muhammad Baqir Bin Jafar
Shadik yang bergelar Sri Maharaja yang bertahta di bukit Sigara dengan
perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
Menurut
cerita masyarakat Loloda mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan
oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh
ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan
Raja Loloda ini berkaitan dngan meletusnya Gunung Tarakani di Galela
(cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini
menyingkir ke Loloda. Dari peristiwa inilah yang kemudian menjadi
cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut Loda yang
berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.
Dari beberapa versi di atas
menunjukkan bahwa keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di
Maluku jelas merupakan suatu keniscayaan sejarah. Sebagai Kerajaan yang
tidak mengikuti Persekutuan Moti (Moti Staten Verbond) tahun 1322
sebagaimana disebutkan di atas, maka Kerajaan Loloda pun kemudian tidak
terlalu mendominasi panggung sejarah Maluku Utara. Hal ini adalah
sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena sesungguhnya pengaruh politik
Kerajaan Loloda juga tidak teralalu signifikan dalam percaturan politik
Kerajaan-kerajaan Maluku ketika itu.
Ketka
datangnya bangsa Portogis di Maluku pada abad ke-16, pengaruh Kerajaan
Loloda sudah tidak berpengaruh untuk kepentingan Portogis. Dari sejumlah
sumber yang ada, hanya mengungkapkan bahwa kepentingan Portogis di
Halmahera Utara lebih menonjol pada kawasan Kerajaan Moro yang
belakangan terbagi menjadi Moro-Tia dan Moro-Tai (Moro Daratan dan Moro
diseberang Lautan). Kondisi ini terekam dari pengaruh Missi Ordo Jesuit
Khatolik yang pada akhirnya berhasil membaptis sebagian orang-orang Moro
termasuk Raja Moro di Mamuya dengan nama baptisan Don Joao de Mamuya.
Ketika
Sultan Baabullah Datu Sjah berhasil mengusir Portogis dari Maluku,
Kerajaan Moro kemudian dianeksasi dan digabungkan kedalam wilayah
Kesultanan Ternate. Peristiwa ini terjadi pada perempatan terakhir abad
ke-16. Dengan demikian maka riwayat Kerajaan Moro pun praktis berakhir.
Sementara Kerajaan Loloda masih tetap eksis sebagai salah satu Kerajaan
Maluku di Utara Halmahera. Sebagai Kerajaan Maluku yang terletak di
Utara Halmahera, Kerajaan Loloda berkedudukan sebagai “Ngara Mabeno”
(Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.
Dalam
memori serah terima jabatan Gubernur VOC Maluku dari Robertus
Padtgbrugge (1677-1682) kepada penggantinya Gubernur Yacob Loobs
(1682-1684), secara jelas telah menyampaikan kedudukan Raja-raja Maluku
yakni ; Loloda, Ngara Mabeno (Dinding Pintu), Jailolo, Jiko maklano
(Penguasa Teluk), Tidore, Kie Makolano (Penguasa Pegunungan), Ternate,
Alam Makolano (Penguasa Maluku) dan Bacan, Dehe Makolano (Penguasa
Daerah Ujung). Dari memori ini menunjukan bahwa sampai abad ke-17,
Kerajaan Loloda tersebut masih tetap eksis dan berintegrasi sebagai
salah satu Kerajaan Maluku sebagaimana halnya Kerajaan Ternate, Tidore,
Bacan dan Jailolo. Bahkan bila dikaji secara objektif, bisa dijelaskan
bahwa eksistensi Kerajaan Jailolo-lah yang kemudian berakhir pada abad
ini juga yakni pada pada tahun 1684 ketika wafatnya Pangeran Jailolo
Kaicil Alam. Perlu juga ditambahkan bahwa sebelum wafat, Kaicil Alam
telah ditempatkan sebagai kerabat Kesultanan Ternate karena dinikahi
dengan Boki Gamalama adik Sultan Sibori Amsterdam Ternate. Setelah Kacil
Alam wafat, maka Jailolo yang sebelumnya berstatus sebagai Kerajaan
menurun menjadi Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan
Kepala Distrik atau Hoofh Distrik bergelar Sangaji Jailolo.
Sementara
status dan pengaruh politik Kerajaan Loloda baru mengalami degradasi
pada Abad ke-18. Kondisi ini bisa dilihat bahwa secara politis, dalam
abad ke-18 ini Maluku Utara hanya terbagi kedalam tiga kerajaan yang
mempunyai hubungan formal dengan VOC yang berkepentingan mengamankan
monopoli remaph-rempah. Ketiga kerajaan tersebut adalah ; Ternate.
Tidore dan Bacan. Sdangkan Kerajaan Loloda seakan-akan disetarakan
statusnya setingkat Distrik seperti halnya Kerajaan Jailolo yang telah
menjadi Distrik sejak abad ke-17. Hal ini bisa dilihat berdasarkan
sumber sejarah yang tersediah menjelaskan bahwa dalam abad ke-18 ini
terdapat sembilan Distrik di Halmahera Utara yang berada dibawah
Kesultanan Ternate, yakni ; (1) Galela (2) Tobelo (3) Kau (4) Loloda (5)
Gamkonora (6) Tolofuo (7) Tobaru (8) Sahu dan (9) Jailolo. Juga
terdapat satu Distrik di Zazirah selatan yakni Distrik Gane. Dalam
sumber ini lebih jelas diungkapkan bahwa Penguasa Loloda tidak pernah
menyandang gelar Kepala Distrik atau yang biasa disebut Sangaji, tetapi
Penguasa Loloda tetap menggunakan gelar Kolano Loloda. Ini menunjukan
bahwa ada upaya Penguasa Loloda untuk mempertahankan integritas
Kerajaannya. Sementara di Jailolo, Kepala Distriknya tetap menggunakan
gelar Sangaji Jailolo.
Status
Jailolo kemudian mengalami kontroversi antara Kesultanan Ternate dan
Kesultanan Tidore ketika Sultan Nuku sengaja membangkitkan kembali
Kerajaan Jailolo pada tahun 1796 dengan mengangkat Jogugu Kesultanan
Tidore dengan gelar Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo. Sebelum
memangku jabatan Jogugu, Muhammad Arif Billa pernah memangku jabatan
Sangaji Tahane Makian sehingga ia sering disebut Jogugu Tahane. Upaya
Nuku untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo ini merupakan inspirasi
dari cita-cita pendahulunya yakni Sultan Syaifuddin yang pernah
berinisiatif untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sebagai salah
satu pilar pranata politik di Maluku. Akan tetapi inisiatif Sultan
Sayifudin ketika itu tidak pernah ditanggapi oleh VOC maupun Kesultanan
Ternate sebagai patner kepercayaannya.
Keberadaan
Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku dengan mengangkat Muhammad
Arif Billa sebagai Sultan Jailolo sesungguhnya menimbulkan kontroversi
antara sebagian orang-orang Alifuru yang telah menjadi kawula Kesultanan
Ternate dan sebagian lainnya yang menyatakan setia kepada Nuku. Hal ini
terjadi karena Muhammad Arif Billa bukan berasal dari keturunan
Raja-raja Jailolo. Akan tetapi menurut Nuku, bahwa pengangkatan Muhammad
Arif Billa sebagai Sultan Jailolo adalah sah. Dalam satu suratnya
kepada Gezaghebber Ternate, Nuku menjelaskan bahwa pengangkatan Raja
Jailolo itu didukung tidak saja oleh para Bobato negeri Soa-sio dan
negeri-negeri lainnya di Pulau Tidore, tetapi juga oleh para Bobato
Halmahera Timur (Maba, Weda, Patani) dan beberapa Bobato di Halmahera
Utara termasuk Raja Loloda dan anggota bangsawan Ternate yang melarikan
diri ke Tidore.
Dalam uraian
Surat Nuku kepada Gesaghebber Ternate di atas, bisa dikatakan bahwa
Kerajaan Loloda dalam pandangan Nuku pun masih memiliki kekuasaan atas
wilayahnya. Sedangkan fungsi Kesultanan Jailolo yang baru dibentuknya
itu pada prinsipnya berada dibawah Nuku dalam mengimbangi hegemoni
terhadap Kerajaan-kerajaan Maluku lainnya terutama Ternate. Sementara
dimata Kesultanan Ternate, bisa dikatakan bahwa status Jailolo tetap
merupakan sebuah Distrik yang berada dibawah otoritasnya.
Eksistensi
Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku di atas ternyata tidak
berlangsung lama, Setelah Nuku wafat pada tahun 1805, integritas
Kerajaan Jailolo inipun terancam dan mendorong Raja Jailolo Muhammad
Arif Billa bersama keluarga dan pengikutnya meningalkan Jailolo. Mereka
memburu hutan belantara menuju pedalaman Timur Halmahera dan akhirnya
Muhammad Arif Billa tewas akibat terjatuh di sebuah jurang yang sangat
berbahaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1807.
Setelah
Muhammad Arif Billa wafat, puteranya Kimalaha Sugi mendeklarasikan
dirinya sebagai Sultan Jailolo dihadapan pengikutnya dengan gelar
Muhammad Asgar. Ketika Inggris berkuasa di Maluku (1810-1817), Muhammad
Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo karena ia belum pernah
diangkat oleh satu penguasa yang berhak, dan menurut Inggris ia tidak
berhak menggunakan gelar Sultan Jailolo. Ia kemudian ditangkap dan di
asingkan ke Seram Utara. Dari peristiwa inilah keluarga dan pengikut
Muhammad Asgar kemudian mengungsi ke Seram Utara untuk bergabung dengan
Muhammad Asgar yang dianggap sebagai Rajanya. Akan tetapi ketika Inggris
menyerahkan kembali kekuasaan di Maluku kepada Belanda pada tahun 1817,
Muhammad Asgar kemudian diserahkan kepada Belanda. Ketika Muhammad
Asgar mengajukan permohonan kepada Panitia pengambil alih kekuasaan dari
Inggris kepada Belanda-agar dibebaskan dan diperkenankan untuk kembali
memimpin masyarkatnya di Halmahera, ia pun kemudian diasingkan lagi oleh
Belanda ke Jepara.
Setelah
Muhammad Asgar diasingkan ke Jepara, adiknya Hajudin menyatakan dirinya
sebagai Sultan Jailolo terhadap pengikutnya. Ia dan pengikutnya meminta
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui sebagai Sultan Jailolo.
Permintaan itu dilakukan melalui tekanan dan aksi-aksi, akan tetapi
upaya mereka tidak pernah ditanggapi oleh pihak Belanda bahkan Hajudin
dinyatakan statusnya sebaai buron dan pembangkan.
Pengakuan
Pemerintah Hindia Belanda tehadap Kerajaan Jailolo sebagamana yang
diupayakan oleh Hajudin dan pengikutnya di atas, baru membuahkan hasil
ketika Pitter Merkus menjabat sebagai Gubernur Maluku (1822-1828). Akan
tetapi Gubernur Pitter Merkus mengusulkan agar Kerajaan Jailolo yang
akan dibentuk berlokasi di suatu koloni wilayah di Seram Pasir bukan di
Halmahera. Usulan ini akhirnya diterima oleh Hajudin, namun kedudukan
Sultannya diserahkan kepada kakaknya Muhammad Asgar yang berada di
Jepara. Berdasarkan permintaan Hajudin tersebut, pada tahun 1825
Pemerintah Hindia Belanda pun mengembalikan Muhammad Asgar ke Ambon dan
pada tangal 25 Januari 1826, Muhammad Asgar dilantik sebagai Sultan
Jailolo yang akhirnya dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Jailolo di
pengasingan Seram.
Sebagai
Kerajaan yang memiliki hubungan politik dengan Belanda, Kerajaan Jailolo
di pengasingan Seram inipun praktis berada dbawah kendali Pemerintah
Hindia Belanda. Ketika Muhammad Asgar dan pengikutnya membangkan ingin
kembali membangun kekuasaannya di Jailolo Halmahera, pada tahun 1830
Pemerintah Hindia pun kemudian melikuidasi Kerajaan Jailolo di
Pengasingan Seram ini. Muhammad Asgar dan keluarganya kemudian
diasingkan ke Cianjur Jawa Barat. Peristiwa ini menandakan berkahirnya
Kerajaan Jailolo babak kedua.
Sementara
Status Jailolo di Halmahera tetap merupakan sebuah Distrik dibawah
otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepaa Distrik bergelar Sangaji
Jailolo. Pada tahun 1868, status Distrik Jailolo berubah menjadi
Soa/Kampung dengan Kepala Kampung bergelar Fanyira Jailolo.
Belakangan
pada tahun 1886, Dano Hasan Baba seorang bangsawan asal Ternate
berupaya untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo. Ia meminta kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Akan
tetapi permintaannya tidak pernah mendapat respon positif bahkan ia
dianggap menjadi pembangkan. Dano Hasan kemudian ditangkap dan
diasingkan ke Pulau Muntok Sumatera.
Sementara
status Loloda tetap dipandang sebagai sebuah Distrik meskipun Penguasa
Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi
senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dalam Suarat Gezaghebber Ternate
tertanggal 8 September 1808 yang memuat laporan tahunan kepada
Gubernument, menjelaskan bahwa Kepala Distrik Loloda yang memakai titel
Kolano Loloda memiliki perangkat Pemerintahan seperti pada Kerajaan
Ternate yakni Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu,
Kapita Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah
lainya. Kenyataan ini menunjukan bahwa pada abad ke-19 ini, Kerajaan
Loloda masih tetap eksis, hanya saja peranan politiknya tidak bisa
mengimbangi kekuatan politik Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. Bahkan
Loloda seakan-akan berada dibawah Kesultanan Ternate dalam membangun
hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Dalam
Silsilah Raja-raja Loloda maupun sumber-sumber lisan masyarakat Loloda,
mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda baru brakhir pada awal abad ke-20
yakni pada tahun 1908. Dalam sejarah masyarakat Loloda, tahun 1908
dikenang dengan sebutan Kolano Madodogu (Masa Raja terakhir). Peristiwa
ini berkaitan dengan pergolakan politik di internal kerajaan dan
pengaruh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembayaran
Balasting (Pajak Diri). Diungkapkan dalam kisah ini bahwa ketika
wafatnya Kolano Sunia dalam bilangan awal abad ke-20 ini, terjadi
perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni
Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya
merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan
putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin
berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan
pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa
Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan
sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Lau Muda). Sementara Kayoa hanya
berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas
dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung
dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan Balasting oleh
pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap
Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang
Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena
terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran Balasting atau pajak mesti
diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda.
Aksi
Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi warga untuk menjatuhkan
kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri Pajak Belanda sedang
berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa Laba yang
bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun
mendatangi Keraton sambil membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di
hadapan Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes
terhadap Kolano Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah
pesuruh Kaicil Kayoa.
Akibat
pembunhan terhadap Mantri Pajak Belanda di atas, menimbulkan amarah
pihak Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia.
Belanda pun kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredah aksi
yang dilakukan oleh tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan
aparat Belanda di Loloda tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru
dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat yang telah disiapkan oleh Kaicil
Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda dikenang sebagai peristiwa
Perang Laba (Rogu Laba) tahun 1908.
Perlawanan
terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta
untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudia dibawah ke
Ternate bersama Permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya. Karena
tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya,
Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia
sempat dibawah ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada
tahun 1915. Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di
Ternate. Joboki Habiba wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat
pada tahun 1915. Keadaan ini menggambarkan bahwa Kolano Syamsudin wafat
setelah dikembalikan oleh Belanda dari pengasingan di Pulau Jawa.
Sementara
di Jailolo, pemberontakan serupa baru terjadi pada tahun 1914 yang
dipelopori oleh Kapita Banau. Atas pemberontakan tersebut, Kontrollir
Belanda Aggerbek tewas terbunuh.
Sebagai
akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh warga Jailolo tersebut di
atas yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate mengakibatkan Sultan
Ternate Muhammad Usman Sjah dituduh oleh Belanda terlibat dalam
pemberontakannya. Atas tuduhan itu, maka melalui Keputusan (Besluit)
Gubernument no. 47 tertanggal 23 September 1915, Sultan Muhammad Usman
kemudian dinyatakan diberhentikannya sebagai Sultan Ternate. Ia dan
putera tertuanya diasingkan ke Bandung dan baru diperkenankan kembali ke
Ternate pada tahun 1933. Semasa dalam pengasingannya, Pemerintahan
Kesultanan Ternate dijalankan oleh para Bobato. Hal ini berdasarkan
Besluit Pemerintah Hindia Belanda no. 7 tangal 10 Mei 1916.
Setelah
diasingkannya Kolano Syamsuddin sejak tahun 1908 ketika terjadi
pergolakan di Loloda, maka mulai saat itulah Kerajaan Loloda pun
berakhir. Loloda pun kemudian menjadi wilayah otoritas penuh dibawah
Kesultanan Ternate, meskipun pada masa sebelumnya Loloda sudah merupakan
bagian dari Kerajaan Ternate dalam membangun hubungan politik dan
ekonomi dengan Belanda.
Berdasarkan
sumber-sumber dari masyarakat Loloda, bahwa setelah berakhirnya
kekuasaan Kolano Syamsuddin atas negeri Loloda, Pemerintahan di Loloda
kemudian disesuaikan dengan menggunakan gelar Sangaji. Hal ini berbeda
dengan masa sebelumnya, yakni Penguasa Loloda senantiasa memakai titel
Kolano Loloda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa para sangaji Loloda adalah
orang-orang luar yang ditempatkan oleh pihak Kesultanan Ternate.
Belakangan
pada tahun 1930, status Distrik Loloda dibagi menjadi empat Onder
Distrik dengan Kepala Onderf Distrik (Hoof Onder Distrik) disebut
Hamente (terkadang disebut Kepala Mente), yakni (1) Onder Distrik
Soa-sio yang mencakup wilayah Loloda bagian Selatan dengan Kepala Onder
Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Djami Bin Syamsuddin (Putera
Kedua Kolano Syamsuddin). (2) Onder Distrik Baja yang mencakup wilayah
Loloda bagian Tengah dengan kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang
oleh Kaicil Puasa (Putera Kapita Lau Arafane), (3) Onder Distrik Dama
untuk wilayah Loloda bagian Kepulauan dengan Kepala Onder Distrik atau
Hamente dipegang oleh Hammanur, dan (5) Onder Distrik Dorume untuk
Loloda bagian Utara. Hal ini berdasarkan Zelf Bestuur Releging
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 yang tetap membagi Pemerintahan
Maluku Utara kedalam tiga Swapraja Kesultanan yakni Swaparaja Kesultanan
Ternate, Tidore dan Bacan. Tiap Swaparaja Kesultanan dibagi kedalam
beberapa Distrik dan Distrik membawahi beberapa Onder Distrik.
C. Status Kerajaan Loloda setelah Kemerdekaan Indonesia.
Pada
masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintahan Maluku Utara masih
menerapkan pola Pemerintahan sebelumnya yakni kolaborasi antara pola
Pemerintahan ala kerajaan dan pola Pemerintahan Hindia Belanda. Pada
fase ini daerah Maluku Utara masih berbentuk Keresidenan. Sedangkan pada
tingkat bawah dinamakan Distrik dengan Kepala Distrik disebut Sangaji.
Sementara Onder Distrik sudah tidak diberlakukan. Keadaan ini
berlangsung sampai tahun 1960 saat perubahan nomenklatur dari nama
Keresidenan menjadi Kabupaten dan Distrik berubah menjadi Kecamatan.
Salah satu ciri yang membedakan dengan masa sebelum kemerdekaan adalah
Kepala Keresidenan atau Residen pada masa setelah kemerdekaan ini
dijabat oleh Sultan. Adapun nama-nama Residen Maluku utara dimaksud
adalah :
1. Residen Iskandar Muhammad Djabir Sjah (Sultan Ternate) 1945-1954
2. Residen Zainal Abidin Sjah (Sultan Tidore) 1954-1956
3. Residen Dede Muksin Usman Sjah (Sultan Bacan) 1956-1960
Berkenaan
dengan pola Pemerintahan di atas, maka pengangkatan dan penempatan para
Kepala Distrik atau sangaji masih menjadi kewenangan Sultan yang juga
sebagai Kepala Daerah atau Residen, tidak terkecuali bagi Distrik
Loloda.
Status Loloda sebagai
Distrik merupakan konsekwensi dari sistem penyetaraan status Kerajaan
Loloda setingkat Distrik sejak abad ke-18 meskipun Kepala Distrik Loloda
(Hoofh Distrik) senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Akan tetapi
satu hal yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia ini adalah terdapat
kedudukan Sangaji Loloda dan juga ada kedudukan Jogugu Loloda. Sangaji
Loloda ditempatkan oleh Residen Maluku Utara saat itu yang juga selaku
Sultan Ternate untuk menjalankan Pemerintahan Distrik. Sedangkan Jogugu
Loloda dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate sebagai Pewaris dan Pengemban
Kerajaan Loloda. Adapun Jogugu Loloda pada masa itu adalah Kaicil atau
Jongofa Djami Bin Syamsuddin, putera kedua Kolano Syamsuddin (Raja
Loloda terakhir).
Dalam
kedudukannya sebagai Jogugu Loloda yang dikukuhkan oleh Kesultanan
Ternate, keberadaannya dalam masyarakat Loloda, ia diangap sebagai
Kolano. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarkat Loloda yang
mengangap seorang Jongofa (Putera Mahkota) adalah pewaris Tahta Kolano
sebagaimana yang melekat pada Jongofa Hi. Djami Bin Syamsuddin. Oleh
masyarakat Loloda ketika itu, ia mendapat penghormatan sebagaimana
layaknya seorang Kolano. Ia tidak disebut sebagai Jogugu melainkan Jou
Kolano. Realitas ini menunjukkan bahwa ketika Kerajaan Loloda
disetarakan setingkat Distrik oleh Belanda dan Kesultanan Ternate pada
abad ke-18, Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik
atau sangaji tetapi seantiasa menggunakan titel Kolano Loloda.
Ketika
menjalankan fungsi dan perannya sebagai Jogugu yang juga diangap
sebagai Kolano Loloda saat itu, ia dibantu oleh beberapa perangkat
Bobato seperti kapita Lau yang disandang oleh Jongofa Syahjuan (Putera
Kapita Lau Majojo, Nasu), Johukum Soa-sio yang disandang oleh Jongofa
Nanggu (Putera sulung Kolano Syamsuddin) dan Imam Loloda, Umar Bin
Malan. Sementara adiknya, Djama hanya memakai titel Jongofa (Putera
bungsu Kolano Syamsuddin). Perangkat-perangkat Bobato ini memiliki
kesamaan pada abad ke-18. Hal ini bisa dilihat dari uraian Surat
Gezaghebber Ternate tertangal 8 September 1808 sebagaimana disebutkan di
atas.
Meskipun fungsi Jogugu
yang juga dianggap sebagai Kolano di atas terbatas pada masalah-masalah
Pemerintahan, akan tetapi status sosialnya sangat berpengaruh terhadap
masyarakat. Bahkan pengaruhnya lebih mendominasi peran Sangaji Loloda
saat itu. Akan tetapi ketika ia wafat, maka kedudukan Jogugu atau Kolano
Loloda ini pun praktis vakum. Tiga puteranya, masing-masing Jongofa
Abd. Malik, Jongofa Maulud dan Jongofa Haibu pun tidak dapat mengambil
fungsi dan peran Jogugu/Kolano Loloda di atas. Hal ini karena tidak ada
inisiatif baik dari masyarakat Loloda maupun Kesultanan Ternate.
Jogugu/Kolano Loloda ini wafat pada tahun 1977 di Ternate, tanah asal
Ibunya dan dimakamkan dipekuburan keluarga Klan Jiko Ternate. Ibunya
Joboki Habiba berasal dari Soa Moti Kasturian Kesultanan Ternate.
D. Status Kerajaan Loloda setelah Reformasi 1998
Sebagaiman
telah dikemukakan sebelumnya bahwa setelah kemerekaan Indonesia, status
dan struktur Kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda ini kemudian
mengalami reduksi dari kepemimpinan Raja/Kolano menjadi setingkat
Jogugu. Kondisi ini terjadi karena pengaruh Kesultanan Ternate yang
mendominasi system politik local ketika itu. Jogugu Kerajaan Moloku
Loloda tersebut diangkat oleh Kesultanan Ternate dari Putera Mahkota
Kolano Loloda, Kaicil Hi. Djamilullah Bin Syamsuddin. Gelar Jogugu bisa
disamakan dengan Mangkubumi. Dalam meniatur Negara, Jogugu atau
Mangkubumi disamakan dengan Jabatan Perdana Menteri. Dengan demikian,
bisa diungkapkan bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Jogugu Loloda
memegang peranan utama dalam kepemimpinan Lembaga Adat Kerajaan Moloku
Loloda. Dalam menjalankan fungsinya, Jogugu Kerajaan Moloku Loloda
didampingi oleh perangkat utamanya seperti Kapita Lau, Hukum Soa-sio,
Tuli Lamo dan Sowohi. Kapita Lau dapat disamakan dengan Panglima Armada
Laut. Hukum Soa-sio adalah Menteri Urusan Dalam Negeri, Tuli Lamo
sebagai Sekretaris dan Sowohi berfungsi sebagai Humas dan Protokoler.
Lembaga
Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan kepemimpinan Jogugu ini senantiasa
eksis dizamannya hingga Jogugu tersebut wafat pada tahun 1977. Sejak
saat itu Lembaga ini mulai vakum selama 31 tahun, dan baru pada tahun
1999 dibangkitkan kembali atas insiatif Kesultanan Ternate dengan
mengangkat Kaicil (Pangeran) Bayan A. Syamsuddin sebagai Jogugu Kerajaan
Moloku Loloda beserta perangkat Bobatonya. Akan tetapi pada tahun 2004
lalu, Jogugu Bayan A. Syamsuddin ini pun tutup usia, dan kelembagaan
Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan perangkat Bobato seperti Kapita Lau
dan Hukum Soasio terkesan berjalan ditempat karena pengaruh usia yang
telah lanjut.
Untuk mengisi
kekosongan kedudukan Jogugu Kerajaan Moloku tersebut, maka sesuai Adat
Se-Atorang (hukum adat Loloda), telah dinobatkan Kaicil (Pangeran) Lutfi
M. Syamsuddin. A.Ptnh sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda.
Penobatannya dilaksanakan dalam suatu Upacara Kebesaran Adat Loloda pada
tanggal 30 Oktober 2008 di Keraton Kesultann Ternate.
Status
dan keberadaan Jogugu Loloda bersama Bobatonya di atas pada prinsipnya
memiliki ciri yang tidak berbedah jauh pada Kesultanan Ternate, Tidore,
Bacan dan Jailolo. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Tau raha (Komisi
4) pada Kesultanan-kesultanan di atas sebagai berikut :
KesultananTernate:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Hukum Soa-sio
4. Hukum Sangaji
Kesultanan Tidore:
1 .Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Kie
4. Hukum Soa-sio
Kesultanan Bacan:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Qadhie
4. Kapita Ngoga
Kesultanan Jailolo:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Lau
4. Qadhie
Sumber : Mudafar Sjah, 2005.
Berdasarkan
kedudukan Tau Raha pada masing-masing Kesultanan di atas, maka di
Loloda juga terdapat kedudukan Tau Raha (Komisi Ngaruga) yakni ; Kapita
Kie. Hukum Soasio, Hukum Bakun Malamo dan Sowohi. Jogugu tidak masuk
dalam Tau Raha, karena Jogugu meaksanakan fungsi Kolano Loloda. Dengan
demikian, maka Jogugu Loloda adalah Pewaris sekaligus Pengemban Kolano
Kerajaan Moloku Loloda adalah merupakan suatu keniscayaan sejarah.
E. Penutup
Meskipun
memiliki akses yang terbatas dalam kanca politik lokal, realitas
sejarah juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Loloda senantiasa eksis
pada zamannya, dan cukup memberikan perkembangan khas tersendiri dalam
pembentukan masyarakat dan budayanya. Setidaknya hal ini bisa dilihat
dari penegasan identitas lokal masyarakat Adat Loloda.
Masyarakat
Adat Loloda adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia yang hidup
berdasarkan asal-usul leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu
wilayah adat, dimana kehidupan sosial budayanya tidak terlepas dari
pengaruh hukum adat dan lembaga adat. Adapun lembaga adatnya
di-integrasikan kedalam satuan pemerintahan kerajaan. Kenyataan ini
berlangsung hingga saat ini, dimana Kepemimpinan (Dada Madopo) Kerajaan
dipegang oleh Jogugu sebagai Pewaris dan Pengemban Kolano Kerajaan
Moloku Loloda.