”Manusia
membuat sejarahnya mereka sendiri, tetapi mereka tidak melakukan itu
hanya mereka suka, mereka membuat dalam kondisi-kondisi yang tidak
mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi – kondisi yang telah
ada, given dan ditransmisikan dari masa lalu. Tradisi generasi terdahulu
menjadi beban-beban, seperti mimpi buruk dalam otak kehidupan”
(The Marx – Engels Reader, dalam Robert C. Tucker (ed). 1978 : 595)
Mejelaskan
dinamika perkotaan melalui penafsiran dan persepsi kota dimata
penduduknya yaitu pemaknaan pedagang terhadap formalisasi dan pemaknaan
terhadap tempat berjualan, dimana status mereka telah berubah dari
pedagang kaki lima menjadi pedagang kios yang disatukan dalam sebuah
kesatuan ruang sosial yaitu pasar tradisional sebagai upaya membangun
pendekatan sosiologi perkotaan neo-dualis[1].
Pendekatan
neo-dualis sosiologi perkotaan meninjau penggunaan lahan kota baik
sebagai “produk” maupun “proses” bukan persoalan sosiologi perkotaan
secara khusus ataupun persoalan geografi, tetapi juga sosiologi secara
umum. Kota dipandang sebagai suatu obyek studi dimana di dalamnya
terdapat masyarakat manusia yang sangat kompleks, telah mengalami proses
interelasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Lahan
perkotaan sebagai produk dari interelasi penghuninya tercipta karena
adanya keteraturan penggunaan lahan[2].
Sedangkan dinamika kota sebagai proses merupakan bentuk artikulasi
kelompok-kelompok yang mengalami proses interelasi yang sangat kompleks.
Struktur ruang tidak dapat dikaitkan langsung dengan denyut kehidupan
masyarakat kota. Struktur ruang merupakan suatu produk sejarah yang
harus dilihat sebagai kreasi agen-agen sosial atau aktor-aktor yang
bersifat kolektif, interaksi, strategi, keberhasilan dan kegagalan
agen-agen membentuk kualitas dan karakteristik ruang kota. Kota ada dan
keberadaannya dirasakan melalui perlawanan, konflik, model, gaya hidup,
dan lain-lain. Negara sebagai reprentasi kekuasaan memiliki karakter
dominan dalam upaya merebut penggunaan lahan perkotaan, melalui
reproduksi aturan sebagai bentuk sumberdaya kekuasaan.
Tidak
netralnya sebuah ruang sosial perkotaan menjadikan apa yang sahih untuk
suatu kota bisa jadi tidak relevan bagi kota lain. Karakter kota di
suatu masyarakat lain atau pada periode sejarah yang lain. Sehingga
dalam melakukan pendekatan dalam kota ialah dengan melupakan
definisi-definisi yang berlaku secara umum dan memulai dari perspektif
relativis, yaitu berkaitan dengan keanekaragaman kota itu, dan apa yang
menjadi haknya. Perspektif ini amat dibutuhkan terutama bagi berbicara
tentang perkotaan di Negara Berkembang. Tradisi perkotaan di Asia
Tenggara saat ini adalah heterogenitas (keberagaman), orientasi keluar,
dan amalgamasi, dan dalam perubahan yang terintergrasi ke dalam
masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana
penduduk sebuah kota memahami apa yang terjadi di kotanya sendiri?
Bagaimana ia dipengaruhi oleh proses modernisasi atau keterbelakangan
kotanya, bagaimana reaksinya? Menjadi kajian yang menarik dalam upaya
memahami dinamika perkotaan. Tradisi pemahaman kota seperti itu disebut
sebagai ”Sosiologi Perkotaan Baru” yang dipelopori oleh Manuel Castells
(1983) terutama karyannya berjudul ”The City and The Grass Roots”.
Dalam kajian tentang gerakan sosial kota, Castells menganalisis kota
sebagai kreasi warga. Fokus analisis dinamika perkotaan bukan pada
ekologi perkotaan, melainkan penafsiran dan persepsi kota dimata
penduduknya yang secara sosial telah mengkonstruksi kota tersebut lewat
tindakan-tindakannya yang disertai oleh konsep-konsep dan penafsiran
ini. Upaya ini mengandung upaya perspektif sejarah, dan memfokuskan pada
gerakan sosial kota masa kini. Kota dibuat dan digeluti oleh
penduduknya; tidak dalam bentuk kerjasama yang harmonis, melainkan
melalui berbagai konflik antara pihak yang mendominasi dan mendesakkan
pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang mereka dominasi[3].
[1]
Evers memetakan terdapat Lima macam Teori Klasik dan Neo Klasik tentang
Urbanisasi (1) Teori-teori Demografis tentang Urbanisasi dan Migrasi.
(2) Teori-teori mengenai sistem kota;(3) Teori-teori kultural kota;(4)
Teori tentang diferensiasi ruang dan sosial serta segregasi (pemencilan)
di perkotaan;(5) Teori-teori neo-dualis. Dengan karya penulisan ekonomi
politik perkotaan Mazhab Prancis (Castells, Lojkine, rangkuman dalam
versi bahasa Inggris ditulis oleh Pickvance 1976).Lihat, Hans Dieter
Evers dan Rudiger Korff. Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 15-17.
[2]
Struktur tata ruang kota sebagai sebuah produk tidak terlepas dari
aspek sosiologis dari dinamika kehidupan suatu kota tersebut. Terdapat
lima pendekatan yang dilontarkan untuk menyoroti penggunaan lahan suatu
kota, meliputi: Pendekatan Ekologis, Pendekatan Ekonomi, Pendekatan
Morfologi, Pendekatan Sistem Kegiatan, Pendekatan Ekologi Faktorial.Lihat., Hadi Sabari Yunus. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000. h. 2.
[3] Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. 2000. op. cit., h. 1–18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar