ETIKA PERENCANAAN
1.
Pengertian
Etika
Etika adalah Prilaku
minimum/standard dipersyaratkan dengan nilai-nilai ilmiah, fislosofi, moral,
dan keyakinan tertentu untuk menjamin berlangsungnya proses pencapaian tujuan
kelompook atau individu dalam ruang dan waktu tertentu
2 . Etika, Moral dan Norma Kehidupan
Secara etimologis etika dapat pula disamakan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin "mos" yang juga berarti sebagai adat kebiasaan. Hal yang senada disampaikan juga oleh Lawrence Konhberg (1927-1987), yang menyatakan bahwa etika dekat dengan moral. Lawrence juga menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan integrasi berbagai ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi budaya, filsafat, ilmu pendidikan, bahkan ilmu politik. Itu yang dijadikan dasar membangun sebuahetika.
Sedangkan jika dikaji lebih dalam lagi, beberapa ahli membedakan etika dengan moralitas. Menurut Sony Keraf (1991), moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup dengan baik sebagai manusia.
Nilai-nilai moral mengandung petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah turun-temurun melalui suatu budaya tertentu.
Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia.
Frans Magnis Suseno (1987), memiliki pernyataan yang sepaham dengan pernyataan di atas. Bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Sedangkan yang memberi manusia norma tentang bagaimana manusia harus hidup adalah moralitas.
Nilai-nilai moral mengandung petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah turun-temurun melalui suatu budaya tertentu.
Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia.
Frans Magnis Suseno (1987), memiliki pernyataan yang sepaham dengan pernyataan di atas. Bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Sedangkan yang memberi manusia norma tentang bagaimana manusia harus hidup adalah moralitas.
Lawrence konhberg juga mencatat 6 orientasi tahap perkembangan moral yang dekat hubungannya
1. Orientasi pada hukuman, ganjaran, kekuatan fisik dan material. Nilai-nilai yang bersifat kemanusiaan tidak di persoalkan pada orientasi ini. Orang cenderung takut pad hukuman dibandingkan sekedar menjalakan mana yang baik atau mana yang buruk.
2. Orientasi hidonistis hubungan manusia. Orientasi ini melihat bahwa perbuatan benar adalah perbuatan yang memuaskan individu dan atau kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan formal di tempat umum, unsur kewajaran adalah timbal balik. Hal itu terlihat pada adanya tanggapan seperti "jika anda merugikan saya, saya juga bisa merugikan anda". Orientasi ini tak mempersoalkan kesetiaan, rasa terima kasih dan keadilan sebagai latar belakang pelaksanaan etika.
3. Orientasi konformitas Orientasi ini sering disebut orientasi "anak manis" dimana seseorang cenderung mempertahankan harapan kelompoknya, serta memperoleh persetujuan kelompoknya, sedangkan moral adalah ikatan antar individu. Tingkah laku konformitas dianggap tingkah laku wajar dan baik.
4. Orientasi pada otoritas Pada orientasi ini orang lebih cenderung melihat hukum, kewajiban untuk mempertahankan tata tertib sosial, religius, dan lain-lain yang dianggap sebagai nilai utama dalam kehidupan.
5. Orientasi kontrak sosial Orientasi ini dilatarbelakangi adanya tekanan pada persamaan derajat dan hak kewajiban timbal balik atas tatanan bersifat demokratis. Kesadaran akan relativitas nilai dan pendapat pribadi, pengutamaan pada prosedur dan upaya mencapai kesepakatan konstitusional dan demokratis, kemudian diangkat sebagai moralitas resmi kolompok tersebut.
6. Orientasi moral prinsip suara hati, individual, komprehensif, dan universal.
Orientasi ini memberi nilai tertiggi pada hidup manusia, dimana persamaan derajat dan martabat menjadi suatu hal pokok yang di pertimbangakan.
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika dan moral dapat digambarkan sebagai dua buah objek yang saling beririsan (intersection). Perhatikan hubungan keduanya seperti diagram venn sebagai berikut .
Disatu kondisi, etika berbeda dengan moral. Etika merupakan refleksi kritis dari nilai-nilai moral, sedangkan dengan kondisi berbeda ia bisa sama dengan moral, yaitu nilai-nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku didalam komunitas kehidupannya.
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa etika dan moral dapat digambarkan sebagai dua buah objek yang saling beririsan (intersection). Perhatikan hubungan keduanya seperti diagram venn sebagai berikut .
Disatu kondisi, etika berbeda dengan moral. Etika merupakan refleksi kritis dari nilai-nilai moral, sedangkan dengan kondisi berbeda ia bisa sama dengan moral, yaitu nilai-nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku didalam komunitas kehidupannya.
3. Etika Dalam Perencanaan
Etika menjadi sebuah nilai yang menjadi pegangan bagi seorang perencana dalam
melakukan dan mengatur tingkah laku di dalam perencanan dan
menjadi hal yang mendasar dalam mengambil sebuah keputusan. Tentunya tidak akan
terlepas dari tindakan-tindakan tidak etis. Tindakan tidak etis yang di maksud
disini adalah tindakan yang melangar etika yang berlaku dalam suatu perencanaan
atau Consultan tersebut.
Jam husada
(2002) mencatat beberapa faktor berpengaruh pada keputusan atau tindakan-tidakan
tidak etis dalam sebuah perusahaan ,antara lain adalah:
a) Kebutuhan
individu merupakan faktor utama penyebab terjadinya tindakan-tindakan tidak
etis.
b) Tidak ada
pedoman Tindakan tidak etis bisa saja muncul karena tidak adanya pedoman
atau prosedur-prosedur yang baku, tentang bagaimana melakukan sesuatu.
c) Perilaku dan
kebiasaan individu. Tindakan tidak etis bisa juga muncul karena perilaku
dan kebiasaan individu, tanpa memperhatikan faktorlingkungan dimana individu
itu berada.
d) Lingkungan
tidak etis Kebiasaan tidak etis yang sebelumnya sudah ada dalam suatu
lingkungan, dapat mempengaruhi orang lain yang berada dalam lingkungan tersebut
untuk melakukan hal serupa. Lingkungan tidak etis ini terkait pada teori
psikilogi sosial, dimana anggota mencari konformitas dengan lingkungan dan
kepercayaan pada kelompok.
e) Perilaku
atasan Atasan yang terbiasa melakukan tindakan tidak etis, dapat
mempengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaannya dalam melakukan
hal serupa.
Bagi seorang perencana ada landasan hukum yang menjadi
pegangan dalam melakukan suatu proses perencanaan, di mana dia harus mampu memposisikan dirinya terhadap
aturan-aturan hukum yang berlaku. Adapun landasan hukum bagi penataan ruang di
Indonesia telah ditetapkan melalui UU No.26/2007 yang kemudian diikuti dengan
penetapan berbagai Peraturan Pemerintah (PP) untuk operasionalisasinya.
Berdasarkan UU No.26/2007, khususnya BAB II pasal 3, Penyelenggaraan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a) terwujudnya
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan
b) terwujudnya
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
c) terwujudnya
pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkunganakibat pemanfaatan ruang.
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan
tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang
memiliki landasan hukum untuk mewujudkan tujuan perencanaan wilayah dan
kota yang sesuai dengan aturan-aturan
hukum yang berlaku.
4.
Etika Dalam
Pelaksanaan Penataan Ruang
Dalam
pelaksanaan perencanaan tata ruang sering kali terjadi hal-hal yang sangat
tidak etis. Hal ini dikarenakan
kurangnya kesadara individu pada seorang perencana dalam melakukan suatu
perencanaan, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan yang sangat merugikan
proses perencanaan tersebut dan berdampak pada masyarakat di kawasan
perencanaan itu sendiri. faktor yang menjadi persoalan dalam penataan ruang itu
sendiri ialah; dalam Proses penyusunan tata ruang sering kali hanya menjadikan
masyarakat sebagai simbol dalam penyusunan perencanaan tata ruang itu sendiri,
di mana masyarakat tidak di libatkan dalam proses penetapan dan penyusunan
sehinga masyarakat tidak mengetahui apa yang sedang di lakukan di daerah.
Dalam
penyusunan perencanaan tata ruang sudah di tetapkan berbagai aturan yang
mmelibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Sebagai mana
yang telah di bahas dalam UUPR No. 26
.Tahun 2007 . Bab VIII .Pasal.60,61,62,63,64,65,66. Hal ini mengambarkan
dimana masyarakat mempunyai hak dan
kewajiban secara langsung atau tidak langsung dalam suatu proses perencanaan
tata ruang.
Pelaksanaan Penataan
Ruang berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007,
upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan penataan yang
meliputu;
1) Perencanaan
tata ruang,
Proses penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang atau proses penyusunan dan penetapan hasil
perencanaan tata ruang, proses penetapan wujud struktur ruang dan pola
pemanfaatan ruang , baik direncanakan maupun tidak.
2) Pemanfaatan
ruang
Upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan wadah
meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memilihara
kelangsungan hidupnya.
3) Pengendalian
pemanfaatan ruang
Upaya untuk mewujudkan
tartib tata ruang dilakukannya melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
5. Prinsip dalam Etika Perencanaan
Proses perencanaan adalah proses
yang berkelanjutan seiring dengan dinamika kehidupan yang selalu evolutif dan
untuk tetap menjamin keberlangsungannya diperlukan alat kontrol berupa etika. Etika merupakan bentuk integritas dan komitmen pelaku
proses perencanaan dalam melayani kepentingan publik
ETIKA PENGUNAAN
LAHAN
1. Arti Etika Pengunaan Lahan
Etika
pengunaan lahan menurut Timothy Beatly, 1994 ”Ethical Land Use” “Tanggung jawab moral (moral obligation) atas alokasi penggunaan lahan untuk berbagai jenis kegiatan dalam
kaitannya dengan tanggung jawab terhadap lingkungan dan generasi mendatang”. Timothy Beatly membagi beberapa elemen-elemen dalam etika
pengunaan lahan, yaitu:
a. Maksimalisasi
Kepentingan Publik
1) Etika land use harus mempromosikan sejumlah besar kepentingan serta
kesejahteraan sosial masyarakat banyak, dari pada sekelompok masyarakat tertentu.
2) Berlawanan dengan prinsip ekonomi neo-klasik yang menekankan pada
keuntungan ekonomi dari segelintir orang atas penggunaan lahan
b. Distribusi
Keadilan
1) Mempertimbangkan kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan tak memiliki
akses terhadap lahan permukiman
2) Perencanaan guna lahan didudukkan sebagai bagian dari distribusi keadilan
secara luas meliputi keadilan: pekerjaan, kesehatan, pendidikan, ruang publik,
dan perumahan
c. Pencegahan
Gangguan
Memperhitungkan
segala kemungkinan akan terjadinya gangguan suatu penggunaan lahan terhadap
manusia dan lingkungan (misal: kebisingan, debu dan asap industri terhadap
perumahan, limbah industri terhadap pertanian, banjir karena pembangunan baru)
d. Memperhatikan
Hak-Hak Penggunaan Lahan
Memberikan
tempat bagi hak-hak kebutuhan dasar minimum bagi pelayanan sosial: ruang
terbuka, kesehatan, transportasi, pendidikan, perumahan, rekreasi.
2. Pengunaan Lahan
Penggunaan lahan
merupakan suatu bentuk pemanfaatan atau fungsi dari perwujudan suatu bentuk
penutup lahan. Istilah penggunaan lahan didasari pada fungsi kenampakan penutup
lahan bagi kehidupan, baik itu kenampakan alami atau buatan manusia. Suatu
kenampakan vegetasi rapat, dalam istilah penggunaan lahan dapat dibedakan
menjadi hutan maupun perkebunan. Penyebutan tersebut tergantung pada perlakuan
manusia terhadap penutup lahan.
Berbagai bentuk mata
pencaharian menghasilkan beragam penggunaan lahan. Selain mata pencaharian,
faktor kebutuhan juga akan memunculkan bentuk penggunaan lahan. Seperti
kebutuhan rumah memunculkan kawasan permukiman. Dari perbedaan pola penggunaan
lahan juga akan memunculkan istilah pedesaan dan perkotaan karena pola
penggunaan lahannya berbeda
a. Klasifikasi Penggunaan Lahan
Selaras dengan perkembangan kota dan
aktivitas penduduknya maka lahan di kota terpetak-petak sesuai dengan
peruntukannya. (Jayadinata, 1999)
mengemukakan bahwa tata guna tanah perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang
dan peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja, kawasan
pertokoan dan kawasan rekreasi. Sedangkan menurut (Gallion, Athur,B and Simon Eisner, 1986) mengemukakan bahwa
penggunaan lahan perkotaan terbagi menjadi 5 kategori, yaitu; (a) lahan
pertanian, (b) perdagangan, (c) indsutri, (d) perumahan,dan (e) ruang terbuka.
Sugandhy menggolongkan penggunaan
atas suatu lahan menjadi dua golongan (Sugandhy
dalam Pangarso 2001), yaitu pengunaan lahan kaitannya dengan potensi
alamiah, misalnya kesuburannya atau kandungan mineral dibawahnya; dan
penggunaan lahan kaitannya dengan penggunaannya sebagai ruang pembangunan, yang
secara langsung tidak memanfaatkan potensi alami lahan, tetapi lebih ditentukan
oleh adanya hubungan tata ruang denagn penggunaan-penggunaan lain yang telah
ada. Keterkaitan antara lahan dengan penggunaan-penggunaan lain diatasnya,
menunjukan bahwa terdapat keterkaitan antara lahan dengan manusia.
Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia
baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya.
Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting dalam
perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan penggunaan
lahan.
Sedangkan menurut (Webster, 1990:23), penggunaan lahan
perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut; (a) lahan permukiman, meliputi
perumahan termasuk pekarangan dan lapangan olah raga; (b) lahan jasa, meliputi
perkantoran pemerintah dan swasta, sekolahan, puskesmas dan tempat ibadah; (c)
lahan perusahaan, meliputi pasar, toko,kios dan tempat hiburan; dan (d) lahan
industri, meliputi pabrik dan percetakan.
Menurut (Winarso, 1995:11), penggunaan lahan diklasifikasikan menjadi; (a)
lahan permukiman; (b) lahan perdagangan; (c) lahan pertanian; (d) lahan
indsutri; (e) lahan jasa; (f) lahan rekreasi; (g) lahan ibadah dan (i) lahan
lainnya. Biro Pusat Statistik (BPS) membuat klasifikasi penggunaan lahan dengan
tujuan untuk mengetahui produktivitas lahan (pertanian) sebagai berikut;
·
lahan pertanian yang terdiri dari irigasi teknis,
irigasi setengah teknis, irigasi sederhana PU, irigasi non-PU, tadah hujan,
tegal/kebun, kolam/empang, lahan tanaman kayu, hutan
·
lahan non pertanian, terdiri dari bangunan dan pekarangan,
tanah kering, lain-lain.
Menurut (Chapin 1995), penggunaan lahan untuk fasilitas transportasi
cenderung mendekati jalur transportasi barang dan orang sehingga dekat dengan
jaringan transportasi serta dapat dijangkau dari kawasan permukiman dan tempat
berkerja serta fasilitas pendidikan. Sementara fasilitas rekreasi, terutama
untuk skala kota atau regional, cenderung menyesuaikan dengan potensi alam
seperti pantai, danau, daerah dengan topografi tertentu, atau flora dan fauna
tertentu.
b. Penentu Tata Guna Lahan
Penentu dalam tata guna lahan
bersifat sosial, ekonomi dan kepentingan umum. Menurut (Boris, 1997) mengemukakan bahwa terdapat nilai-nilai sosial dalam
hubungan dengan penggunaan lahan, yang dapat berhubungan dengan kebiasaan,
sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah, peninggalan kebudayaan, pola
tradisional dan sebagainya.
Tingkah laku atau tindakan manusia
menunjukan cara bagaimana manusia atau masyarakat bertindak dalam hubungannya
dengan nilai-nilai (values) dan cita-cita (ideas) mereka. Nilai-nilai dan
cita-cita itu baik yang terungkapkan maupun yang tidak terungkapkan adalah
hasil dari pengalaman manusia dalam perekonomian dan kebudayaan tertentu dan
dalam keadaan alam tertentu, dan merupakan pelengkap dari naluri-naluri dasar
dalam kehidupan manusia. Tingkah laku dan tindakan manusia dalam tata guna
lahan disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan manusia yang berlaku baik dalam
kehidupan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam kehidupan sosial, misalnya kemudahan,
sangat penting artinya; pengaturan lokasi tempat tinggal, tempat bekerja, dan
tempat rekreasi adalah untuk kemudahan itu.
Dalam kehidupan ekonomi, daya guna lahan dan biaya
adalah faktor yang sangat penting. Untuk itu dilakukan pengaturan tempat
sekolah, tempat hunian dan tempat rekreasi yang ekonomis berhubungan dengan
pendapatan perkapita, dan sebagainya. Sementara itu kepentingan umum yang
menjadi penentu dalam tata guna lahan meliputi kesehatan, keamanan, moral, dan
kesejahteraan umum (termasuk kemudahan, keindahan, kenyamanan) dan sebagainya.
Didalam kota harus terdapat pengaturan tentang penyediaan perlengkapan bagi
kehidupan sosial keluarga masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, keindahan
lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar