Senin, 02 Januari 2012

APA ITU RUANG PUBLIK


Cities have the capability of providing something for everyone, only because, and only when, they created by everybody (Jane Jacobs, "The Death and Life of Great American Cities").

DALAM tulisannya "Babakan Siliwangi Sebagai Kawasan Publik" (20/2), Budi Rijanto mengungkapkan mimpinya untuk menjadikan kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan publik. Ia menyebut ITB sebagai operator, sedangkan owner adalah publik. Dengan dalih ITB sebagai pihak yang paling "berkepentingan", dalam mewujudkan mimpinya, ia juga mengungkapkan dibutuhkannya sektor publik (diwakili pemkot sebagai fasilitator dan ITB sebagai operator) sebagai promoter, dan sektor privat diposisikan sebagai financeer.
Saya akan menanggapinya dengan menjelaskan ruang publik dan esensi kebutuhannya.
Ada anggapan dalam perencanaan dan pembangunan kota yang acap kali menyederhanakan kepentingannya menjadi segitiga antara pemerintah, swasta, dan publik. Publik tidak sesederhana kelompok manusia yang "satu suara" dan "satu kepentingan", dan publik bukan "kumpulan orang banyak atau umum". Generalisasi publik menjadi masyarakat umum mengabaikan berbagai kepentingan dan perdebatan yang merupakan bagian dari masyarakat demokratis.
Kaitannya dengan ruang kota, berbagai kepentingan dalam publik menyebabkan ruang kota bukan sebagai ruang statis, ataupun dinamis, tiga dimensi. Ruang kota bukanlah rongga tiga dimensi geometri Euclidean yang dapat diterjemahkan begitu saja dalam bentuk peta-peta. Dinamika kota harus dilihat melalui apa yang disebut Henri Lefebvre sebagai ruang sosial, yaitu ruang sebagai produk sosial dan politik, ruang sebagai produk dengan orang membeli dan menjual. Setiap masyarakat memproduksi ruangnya sendiri sehingga proses produksi yang harus dijadikan objek perhatian, bukan "sesuatu" dalam ruang meski proses dan hasil tak terpisahkan.
Melalui Lefebvre, pemahaman ruang (kota) dibawa kepada proses ruang diproduksi dengan melihat ruang (sosial) sebagai produk sosial dan politik, ruang yang politis, dan ideologis. Ruang sosial dalam perspektif Lefebvre merupakan tritunggal. Pertama, "praktik spasial" yang merujuk pada cara ruang disusun dan digunakan. Ruang yang dipahami dalam kaitan yang erat antara realitas kehidupan sehari-hari dan realitas kota.
Kedua, "representasi ruang" (diskursus dalam ruang), imajinatif, dan konseptual. Ruang para ilmuwan, perencana, dan perekayasa sosial, atau ruang yang dibentuk profesional dan kapitalis. Inilah "ruang yang dominan pada setiap masyarakat". Ketiga, "ruang representasional" (diskursus ruang), kompleks, dan tidak pernah benar-benar diketahui. Ruang yang dipahami melalui arti nonverbal. Ruang inilah yang didominasi. Lefebvre berargumentasi bahwa tritunggal tersebut seharusnya saling dihubungkan satu sama lain (trialektika).
Akan tetapi, dominasi kapitalis dan profesional perencana dan perancang saat ini membuat hubungan timbal balik antara ketiganya sulit dilakukan. Homogenitas dan tidak dihargainya perbedaan membuat Lefebvre menyatakan perlunya ruang baru untuk berkonfrontasi terhadapnya, yaitu dengan mempromosikan "hak untuk berbeda" yang menekankan perbedaan dan diversitas untuk memproduksi ruang baru yang ia sebut "ruang diferensial".
Isu perbedaan dan diversitas telah menjadi perhatian semenjak kota-kota modern menunjukkan ketidakmampuannya untuk menghargai atau hidup bersama perbedaan. Sebagai contoh, Jane Jacobs menekankan "diversitas" sebagai kata kunci untuk menentang perencanaan dan pembangunan di kota-kota besar Amerika yang tidak mampu mendukung kealamiahan kehidupan kota yang jauh dari asumsi-asumsi perencanaan kota yang mekanistik. Jauh sebelumnya Aristoteles telah mengungkapkan, "Kota terbentuk dari berbagai macam manusia, kelompok manusia yang sama tidak dapat mewujudkan eksistensi kota."
Kota Bandung sekarang ini menunjukkan peranan kapitalis dan profesional, atau momen "representasi ruang" menurut Lefebvre, menciptakan homogenitas dalam ruang dan kolonisasi kehidupan sehari-hari melalui sistem kekuasaan birokrasi, yang salah satu produknya adalah rencana tata ruang. Perbedaan dan diversitas sulit diterima karena para ahli mendominasi interpretasi ruang.
Di sisi lain ruang kota tidak pernah selesai. Selalu berproses melalui pergumulan berbagai kepentingan. Ruang (sosial) adalah politis dan ideologis dan -- disadari atau tidak -- selalu ada bentuk perlawanan untuk menciptakan ruang diferensial. Di antaranya melalui kreativitas dan spontanitas publik yang sangat berbeda dengan standar dan zoning yang ketat dan mekanistik. Itulah sebabnya rencana tata ruang sulit menjadi kesepakatan bersama. Publik memiliki logikanya sendiri yang hidup melalui realitas kehidupan sehari-hari, bukan peta-peta peruntukan lahan yang mekanistik.
Ruang publik
Ruang publik merupakan ruang untuk mempromosikan sekaligus menghargai hak untuk berbeda. Ekspresi perbedaan, spontanitas, dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari pada ruang publik. Ruang publik harus bebas biaya, bebas dari rasa takut, terbuka untuk berbagai kalangan termasuk orang miskin, dan bebas dari hambatan fisik. Jalan, taman, dan lapangan terbuka adalah ruang publik yang membuat kita kontak dan hidup bersama perbedaan. Kebebasan individu dan kelompok diakui asalkan tidak mengganggu yang lain.
Akan tetapi, ini pun mendapat tantangan semenjak privatisasi ruang publik. Bukan hanya ruang publik yang diubah menjadi komersial, melainkan juga penciptaan ruang publik oleh sektor privat. Di sisi lain, banyak ruang publik yang sengaja diciptakan pemerintah, atau ruang publik formal, kalah populer dibanding dengan yang diciptakan sektor privat.
Dari hasil penelitian saya, kawasan Babakan Siliwangi yang kini diributkan merupakan contoh kesuksesan komunitas mengelola dan menghidupkan suatu kawasan publik di tengah-tengah kota. Juga Taman Ganesha yang memiliki seorang kuncen, yang menjadikan taman aman dan nyaman didatangi. Sementara banyak taman kota identik dengan kegelapan dan tampak menakutkan, kedua tempat tersebut relatif punya kehidupan yang menjaga dan memastikan kawasannya aman.
Ruang publik, karena itu, menjadi istimewa justru ketika publik sendiri yang menjaga dan mengelolanya. Tentu saja peran pemerintah tetap dibutuhkan, hanya keterlibatan publik yang lebih besar menunjukkan keberhasilan sebuah ruang publik termasuk posisi strategisnya guna membentuk ruang diskursus dari sekadar tempat untuk bertemu. Ruang publik seperti demikian yang mewarnai dan dibutuhkan dalam masyarakat demokratis.
Sabuga dan Pusat Olah Raga Ganesha tidak akan pernah menjadi milik publik yang sesungguhnya selama akses pada publik terbatas. Fungsi ITB sebagai operator berbeda dengan fungsi komunitas yang mengelola ruang publik. Bentuk kesukarelawanan dan kebebasan berekspresi tidak akan ditemukan pada tempat yang telah ditentukan fungsi kegunaannya secara ketat.
Selain itu, pada ruang publik tidak pernah ada pihak yang paling berkepentingan. Jika salah satu pihak menganggap dirinya paling berkepentingan, fungsi ruang publik tersebut telah berubah. Akses publik menjadi terbatas, tidak hanya akses fisik, tapi juga akses pada kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, ITB tidak akan pernah menjadi representasi publik dalam urusan kawasan Babakan Siliwangi, warga Kota Bandung baik individu maupun organisasi atau institusi lain memiliki kepentingan yang tidak kalah dibanding ITB. Komunitas seniman yang telah puluhan tahun hidup dan beraktivitas di Babakan Siliwangi termasuk pihak yang berkepentingan, begitu pun warga di sekitarnya.
Akses kepentingan pada ruang publik tidak hanya pada produk yang ditawarkan, tapi juga proses. Selama perencanaan dan pembangunan di Babakan Siliwangi tidak melibatkan berbagai kepentingan dalam prosesnya, maka hak publik telah dicabut.
Menuju perbedaan
Dalam kehidupan sehari-hari, ruang kota dipahami melalui jaringan yang menghubungkan tempat kerja, rekreasi, dan kehidupan pribadi. Seperti itulah setidaknya ruang yang dibentuk kapitalis dan perencana. Lalu, di mana tempat publik mengekspresikan perbedaannya? Sejauh ini, selama "representasi ruang" kapitalis dan profesional (dan ahli) mendominasi dalam masyarakat, maka pada ruang publiklah perbedaan dan diversitas hidup dalam bentuk diskursus verbal maupun nonverbal, eksplisit maupun implisit, untuk mengimbangi dominasi dan penghancuran diversitas.
Kota bukan laboratorium untuk melakukan tes setiap teori atau impian. Lebih baik ikuti nasihat Jane Jacobs, yang dibutuhkan adalah duduk tenang dan sensitif pada lingkungan di sekitar kita. Kesadaran sensitif yang mungkin hanya didapat dari sastrawan dan pelukis.***  
Penulis adalah pejalan kaki dan warga Kota Bandung.


Membangun Ruang Publik Milik Bersama
JAKARTA adalah sebuah kota di negara miskin dengan penduduk yang secara sosial ekonomi tidak seragam, bahkan timpang. Sebagaimana kota-kota di negara miskin dan berkembang, Jakarta juga berhadapan dengan kekuatan ekonomi politik lokal dan ekonomi global, Jakarta juga berhadapan dengan tekanan dari dalam seperti pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, kemiskinan, buruknya sistem infrastuktur dan penurunan kualitas lingkungan. Deregulasi ekonomi pada pertengahan tahun 1980-an yang memungkinkan peran swasta dalam "pembangunan" Jakarta membuat Jakarta tumbuh sangat cepat. Pertumbuhan itu bukan bertumpu pada kegiatan industri, tetapi pada kuatnya koalisi pemerintah-swasta yang memiliki interest pada akumulasi yang berdasarkan investasi dalam lingkungan binaan. Hasilnya adalah tumbuhnya kantor-kantor sewa, apartemen, sarana perbelanjaan, perumahan dan infrastrukturnya.
Sayangnya, para pengelola perkotaan lupa bahwa sukses pembangunan Jakarta bisa terhambat oleh krisis lingkungan yang utamanya disebabkan oleh urban sprawl (peluberan kota). Kawasan Jabotabek dihuni 18 juta orang yang akan terus bertambah jumlahnya, penyebarannya meluas secara horisontal dan rakus tanah, melahap tanah pertanian, padang rumput, dan hutan. Pembangunan yang terjadi di sepanjang Kali Malang, kawasan Depok, Jalan Daan Mogot, kawasan Fatmawati-Pondok Labu-Cinere dan kawasan Bintaro, merupakan contoh konkret peluberan kota penyebab krisis lingkungan.
Jaringan jalan bebas hambatan secara tidak langsung ikut memperlancar perusakan lingkungan dengan memberi akses kepada daerah-daerah yang tadinya merupakan kawasan hutan, tanah sawah, tanah rawa atau padang rumput di pinggiran Jakarta. Kompleks perumahan yang masif dibangun di sana yang akhirnya menghasilkan kemacetan, polusi udara dan tanah, kebisingan, pemborosan energi dan kesenjangan sosial.
Bila pembangunan jalan lingkar luar telah selesai dan menyambung seluruhnya dengan jalan lingkar dalam, lalu struktur Kota Jakarta dianggap selesai karena telah mencapai batas-batas wilayah administrasi di Jakarta, juga jaringan jalan ini bisa disebut sempurna. Jalan lingkar luar sepanjang sekitar 90 kilometer dan lingkar dalam 40 kilometer, yang menjadi memorabilia para konglomerat yang berpacu menggenjot penguasaan kapital, telah merusak jalur hijau. Jalur tersebut yang beberapa di antaranya melayang, sebetulnya meninggalkan banyak ruang kosong yang sampai sekarang tidak pernah ditangani secara konseptual. Yang terjadi adalah pola pengembangan kota yang tidak tertangani secara konseptual. Bila sepanjang jalur lingkar ruang ditetapkan sebagai jalur hijau, sebenarnya ada kesempatan untuk mendapatkanm 300 hektar ruang hijau baru!

***

SECARA fisik, Kota Jakarta sebagai bentuk dan ruang sebuah metropolis bisa diidentifikasi melalui lima hal.
Pertama, terjadinya mutasi di Jakarta yaitu perubahan sangat radikal dalam skala sangat besar di mana skala pengembangan seperti itu tidak dikenal sebelumnya. Di dalam kota ada pengembangan kawasan seperti Sudirman Business District, Grand Kuningan, Kuningan Bentala, dan sebagainya. Di pinggiran Jakarta ada Bintaro, Cinere, Bumi Serpong Damai, yang terpadu hanya di dalam kawasan tersebut tetapi tidak dengan bagian kota lainnya. Pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya, kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.
Kedua, pergerakan yaitu transportasi yang cenderung menguntungkan kendaraan pribadi. Dalam membangun transportasi Jakarta mungkin bisa bercermin pada Kota Curitibas di Brasilia, dimana bus mendapat prioritas dan jalur khusus sehingga kelancaran dan ketepatan waktu sampai di tujuan bisa dijamin. Curitibas memilih pengembangan bus karena kereta api bawah tanah (subway) terlalu mahal. Meskipun tingkat kepemilikan mobil tinggi, 1,2 per kapita, tetapi 70 persen penduduk memilih naik bus.
Ketiga, perumahan. Tanah dalam kaitan ini dianggap sebagai komoditas sehingga harganya ditentukan pasar. Deregulasi ekonomi pada tahun 1980-an yang memberi kesempatan swasta memiliki tanah dengan lebih longgar mendorong berkembangnya kantung-kantung perumahan di pinggir Jakarta yang menyebar (sprawling) dalam bentuk acak dan melompat. Konsekuensi pengembangan cara ini adalah borosnya infrastruktur yang harus melayani dan menghubungkan kantung-kantung pengembangan ini yang seringkali tidak punya sistem yang saling menghubungkan.
Belakangan sebelum terjadi krisis, terjadi upaya pembangunan perumahan di tengah kota, tetapi berupa menara apartemen yang eksklusif dan ruang di sekelilingnya tidak bisa diakses publik. Ditambah pertimbangan pemasaran properti itu, rumah-rumah itu miskin heterogenitas. Yang muncul kemudian bukan cuma masalah fisik tetapi juga masalah sosial yang ditandai antara lain oleh pendirian pagar tinggi yang membatasi kompleks perumahan lengkap dengan satpam yang berjaga 24 jam.
Tanah yang berhubungan dengan rumah lalu juga menjadi bahan mencari untung. Akibatnya semakin sulit orang yang kurang mampu memiliki rumah atau mereka terpaksa membeli rumah di daerah pinggiran. Hal ini semakin menyusahkan kehidupan mereka karena tempat kerja mereka berada di tengah kota. Biaya transportasi menjadi lebih mahal.
Keempat, kontainer yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif. Contohnya adalah menjamurnya shopping mall, hypermarket, convention hall, bahkan museum. Pengembangan kawasan baru dianggap belum lengkap bila tidak menyertakan mal sebagai ikonnya. Dengan ciri arsitektur yang mencomot berbagai citra dari berbagai belahan dunia disertai lautan parkir di sekelilingnya, lengkap sudah ritual belanja sebuah masyarakat konsumtif.
Ruang parkir itu padahal menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang yang jauh dari kehidupan kota dan rawan berbagai kegiatan asosial. Mal seperti Taman Anggrek, menjadi kontainer yang terpisah dari kehidupan kota sekelilingnya. Untuk pejalan kaki, diperlukan perjuangan untuk mencapainya. Begitu Jakarta Hilton Convention Center, sebagai pusat kegiatan yang sering dikunjungi seluruh lapisan masyarakat, ia sangat tidak nyaman dicapai dengan kaki. Padahal, bentuk kontainer tidak selalu berarti negatif sepanjang bisa menjawab secara positif ruang di mana ia berada. Plaza Indonesia adalah contoh kontainer yang mencoba merespons bundaran Hotel Indonesia dengan meletakkan bangunannya mendekati jalan dan jalur pejalan kaki, serta menyediakan gerbang masuk untuk pejalan kaki. Pasar Gede Solo yang musnah terbakar juga jenis kontainer yang baik, karena mampu mengakomodasi kegitan di dalam pasar maupun di ruang kota di sekitar bangunan dengan menyediakan fungsi perdagangan eceran di sepanjang tepi luar bangunan (perimeter). Bangunan seperti ini yang semakin sulit ditemui di Jakarta.
Masalahnya, Jakarta sebagai kota peninggalan kolonial tidak memiliki aturan kualitas kota-kota kolonial Spanyol yang dikembangkan berdasarkan aturan yang ketat.
Kelima, ruang-ruang tersisa yang terdapat di antara bangunan industri yang tidak jelas pemanfaatannya, bangunan di bawah jalan layang atau di kawasan pelabuhan tua yang mulai ditinggalkan. Ruang-ruang itu menunjukkan Jakarta tidak kekurangan ruang terbuka, melainkan ruang terbuka itu terjadi dalam pengembangan yang terfragmentasi. Yang diperlukan adalah kesensitifan untuk memanfaatkan ruang terbuka yang di seputar jalan lingkar luar saja jumlah bisa 300 hektar.

***

UNTUK mencegah terjadinya pelebaran kota yang tidak berbentuk, Jabotabek harus menetapkan batas pertumbuhan kota secara tegas. Batas kota akan mendorong terjadinya pembangunan dan penggunaan-campuran, memudahkan mengintensifkan jaringan infrastruktur, dan merangsang kegiatan pembangunan di tengah kota.
Masih banyak kantung tanah di tengah kota yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di dalam kota, seperti kawasan segitiga Kuningan-Sudirman-Thamrin. Yang perlu dilakukan adalah memberi insentif kepada pengembang yang melakukannya.
Rencana pembangunan kereta api bawah tanah poros utara-selatan perlu dicermati karena jangan-jangan hanya akan menguntungkan kelompok menengah-atas dan semakin mendorong peluberan kota ke arah selatan.
Perubahan politik dalam negeri pada tahun 1998 membuka mata warga bahwa mereka juga bisa ikut berperan dalam pembangunan kotanya. Dengan memanfaatkan prinsip perancangan kota untuk mempertahankan keberadaan kelompok masyarakat serta menciptakan sense of place, dan mempromosikan pembangunan berorientasi skala kelurahan dan kecamatan, kota punya kesempatan untuk tumbuh dari bawah (masyarakat) ke atas (pemerintah).
Dalam konteks ini, masyarakat arsitek ditantang untuk tidak sekadar menjadi tenaga ahli penyedia produk, tetapi juga menjadi fasilitator dan pemberdaya bagi kelompok masyarakat untuk bisa mengatasi sendiri masalah permukiman. Almarhum Romo YB Mangunwijaya, Hasan Poerbo dan Johan Silas, adalah tiga arsitek yang bisa menjadi contoh bagi arsitek yang terpanggil untuk mengasah keahliannya sebagai "aristek berkaki-telanjang" untuk sebuah pembangunan yang berbasis komunitas masyarakat

BEHAVIORALISME


Politik yang mengangkat substansi maknanya pada “ Siapa mendapatkan apa,kapan dan bagaimana “ telah menjadi mediasi ruang konsepsi yang begitu luas dan massif untuk mengformulasi berbagai pemahaman tentang ilmu politik Pada skala pembicaraan seperti diatas maka akan melahirkan banyak variabel rasionalitas dan legalitas ilmu yang berkorelasi secara positif dengan ilmu politik baik dalam taraf abstraksi konseptual teoritik maupun metodologi praktikKeharusan bagi para ilmuwan politik untuk ikut urgen dalam menganalisis, memecahkan dan merekayasa sistem sosial beserta masalahnya hamoir tidak lepas dari asumsi dasar yang termaknakana pada politik yaitu “Kekuasaan” dan kata inilah yang menjadi spirit statemen diatas.
            Politik secara khusus menuntut pemahaman tentang kekuasaan.Bukan kekuasaan secara pribadi melainkan juga kekuasaan secara kolektif,sosial dan masyarakat dalam berbagai aspek.Kelahiran kekuasaan tidak lepas dari kebudayaan politik yang dianut oleh para aktor politik baik secara individu maupun secara kolektif (Colectif Behavior) yang memberikan pedoman dan orientasi pemikiran,prioritas kepentigan mereka,cita-cita mereka,kebijaksanaan normatif dan konvensional mereka yang diterapkan dalam kehidupan sistem sosial politiknya.Ketika demokrasi dalam konsepsi dan praktek mulai berkecambah tidak hanya dalam taraf formal namun juga substansial.Individu,kelompok,partai dan negara beserta segala mesin politiknya menjadi wacana politik yang tentatif,terbuka,rasional dan fleksibel.Konsepsi tercanggih dan mumpuni secara politik yang dibuat dan disepakati oleh manusia secara umum sekarang ini adalah demokrasi yang intinya bertumpu pada gagasan bahwa setiap orang lebih mampu memahami masalahnya dibandingkan dengan orang lain sehingga yang memimpin dalam memperoleh kekuasaanya harus berdasarkan rasionalitas,kecerdasan kolektif kelompoknya dan kelompok yang dipimpinya sampai pada taraf praksis.
Pada awalnya yang berkembang adalah pendekatan “Tradisional institusional” yang mengkaji ilmu politik pada persoalan politik kenegaraan,perbandingan politik,partai politik,konstitusi dan streessing kajianya pada sejarah,hukum,kelompok kepentingan,metode deskriptif dan komparatif.Fokus pembicaraanya banyak dicurahkan pada negara beserta mesin politiknya.Keterbelakangan wacana dalam pendekatan ini melahirkan pendekatan lain yaitu pendekatan “Behavioral” dimana mengkaji persoalan ideologi individu dan kelompok,stereoptik pemikiran politik,tingkat kesadaran politik,institusi sosial politik diluar institusi formal politik,hukum moral konvensinal sosial,peran masyarakat dan individu dalam politik dalam bentuk pendapat umum,pemilihan umum,koalisi politik,kekerasan politik.
Pendekatan terakhir yaitu pendekatan “Postbehavioral”sebuah gerakan yang muncul di Amerika pada pertengahan dekade enam puluhan ketika pengaruh berlangsungnya perang Vietnam dan kemajuan-kemajuan tekhnologi persenjataan dan diskriminasi ras yang sangat tajam dan melahirkan gejolak sosial yang luas dan massif.Gerakan protes ini terpengaruh oleh tulisan-tulisan cendekiawan seperti :Jean paul Sartre,Wright Mills,Herbert Marcuse dll.Reaksi Postbehavioralisme terutama ditujukan kepada usaha untuk mengubah penelitian dan pendidikan ilmu pendidikan ilmu politik menujadi suatu ilmu pengetahuan yang murni seperti pola lmu eksakta. 
PENDEKATAN BEHAVIORAL
            Kaum institusionalis berpendapat bahwa kendati sistem pemilihan,bentuk perwakilan parlementer dan presidentil pengawasan,pembagina ataukan pemisahan kekuasaan semuanya itu dibutuhkan tetapi tidak menjadi jaminan bahwa proses politik dalam sistem politik tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya.Suatu pemerintahan konstitusional dan institusionalis ternyata tidak mampu mempersatukan prilaku politik baik individu maupun kelompok yang tidaki stabil,tertib dan terpecah-pecah pada setiap medan sistem politik.
            Lahirnya pendekatan tingkah-laku (Behavioral) mengutamakan perhatianya kepada tindakan politik individu,hubungan pengetahuan,budaya politik terhadap tindakan politik,termasuk bagaimana pendapat politik terbentuk,ketajaman politik diperoleh,serta cara masyarakat memahami fenomena politik yang biasanya mengacu pada ideologi,sistem kepercayaan yang melahirkan pola prilaku yang penuh arti,imanen,konsisten bahkan kadan fanatis.
            Asal – usul behavioralisme yang menenkankan masalah prilaku tidak lepas dari raja filsafat Skeptis David Hume,filsafat pragmatis William James (1842-1914) yang menenkankan voluntarisme dan empirisme,tindakan individu,serta hubungan antara kesadaran dan tujuan.
TOKOH,PEMIKIRAN DAN KARYA
            Prinsip aliran behavioral berada pada filsafat praksis yang mencoba membentuk kebenaran filsafat praksis yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal tetapi pada observasi pengalaman.
David Easton karyanya adalah “ General System Analysis” dan Saint Simon dengan karyanya “ Encyclopedia of  Unified Science “.Inti pemikiran mereka adalah :Pemikir ini berusaha mengisi kekosongan filsafat yang ditinggalkan oleh institusionalisme dengan berusaha menjawab pertanyaan “kenapa” mengenai politik melalui penjelasan tindakan individu  yang mencoba menempatkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan prilaku manusia secara utuh terhadap politik  dan lebih memberikan data empiris.
Graham Wallas ( 1858 – 1932) karyanya “Human nature In Politics”(London :Constauble,1908) pemikiranya pada pergeseran titik stressing dari model ekonomi politik ke psikologi politik yang mengkaji tentang masalah bagaimana sikap dan pendapat serta pengaruh pembagian kerja terhadap kepribadian individu.
Harold D Laswell karyanya “ Psychopatology and Politics “ (Chicago,1930).
Pemikiranya secara khusus mencangkokkan pemikiran Sigmund Freud kedalam teori psikologi dan politiknya dan lebih menekankan pada interaksi kelompok,ketegangan sosial,frustasi dan agresi dalam politik.
Abraham Kaplan karyanya  “The Conduc of Inguiry”(San Fransisco: 1964)
Stressingnya  adalah menggeser perspektif metafisika ,menganti kepastian dengan kemungkinan, mengganti rasionalisme dengan kecenderungan umum,dan deskripsi dengan distribusi dan ukuran penyebaran,mengecilkan hipotesis intuitif dengan hipotesis empiris yang didasarkan pada observasi.
Gabriel A.Almond karyanya “Structural Fungtional Analysis”inti pemikiranya yaitu berpangkal tolak dari meneropong masyarakat secar keseluruhan (Macro Analysis) yaitu mengkaji interaksi dan hubungan antara unsur masyarakat
Independensi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Politik : Pembangunan VS Kemerosotan
            Sejak terjadinya perubahan cepat  dan besar-besaran atas banyak pemerintahan di dunia sesudah perang dunia kedua yang banyak meruntuhkan kekuasaan kolonial      dan banyak melahirkan negara merdeka,muncullah sejumlah besar pemerintahan – pemerintahan baru yang bentuknya beraneka ragam dan sering berubah dalam waktu singkat.Sehingga masalah utama : bentuk pemerintahan apa yang sesuai dan paling baik dinegara-negara baru itu. Malangnya,tidak ada jawaban yang sederhana dan realistis untuk memecahkan  masalah tersebut.Awalnya banyak yang mencoba melestarikan konsep politik lama warisan kolonial dengan hanya sedikit melakukan perubahan sedangkan beberapa negara lain mencoba melakukan perubahan yang radikal.Fakta kemudian menunjjukkan bahwa pada prakteknya mereka  banyak menemui kegagalan,ketidakstabilan,beberapa bentuk pemerintahan mengalami keadaan eksperimental,trial and error (Coba-coba),perubahan dan berlaku secara singkat.Mulai dari tipe pemerintahan barat,parlementer, presidentill, satu partai, multi partai, pemerintahan militer, fasis, komunis  dan varian-varian lainya.Semuanya itu menunjukan pelitnya mencari  jalan proporsional ataupun terbaik terhadap sistem pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan sosial,politik,budaya,ekonomi    masyarakatnya sendiri.
            Pada waktu yang sama dunia setelah perang dunia kedua diwarnai dengan konstelasi politik yang mengalami perubahan yang sangat drastis.Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum perang yang relatif stabil,sistem sosial yang konvensional – relatif modern,ekonomi yang tumbuh terbatas,orientasi politik yang moderat,satu warna dan minim fokus.Sesudah perang mulailah bermunculan banyak kekuatan yang berkompetisi dan mendesakkan proyek politiknya terhadap berbagai dimensi dalam sebuah sistem politik.Wacana perubahan dalam bidang politik,ekonomi,budaya,sosial merupakan bias dalam satu sisi dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan ddalam berbagai bidang seperti bidang komunikasi dan informasi,alat perang,industri dan sebagainya.
             Konstelasi sosial,politik,ekonomi,budaya yang mengalami serangkaian perubahan cepat dan massif dalam dasawarsa tahun limapuluhan.Dr.Mochtar Mas`oed dalam bukunya “ Negara,Kapital dan Demokrasi “ memberikan ulasan deskripsi singkat mengenai fenomena perubahan konstelasi politik sebelum dan sesudah perang dunia kedua.Awalnya pada era tahun 40-an keadaan sosial politik negara cenderung stabil,efektif,ekonomi tumbuh relatif normal,orientasi politk minim sebagai akibat respon positif akan kindisi real pada saat itu dimana semua komponen sistem politik dalam negara bersatu untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah                                   ” Kolonialisme” ,tidak ada kepentingan yang tidak saling mendukung antara infrastruktur politik dalam hal ini kelompok kepentingan ,tokoh masyarakat,partai,organisasi keagamaan dan kemasyarakatan,rakyat horisontal,elit tradisional dll dengan suprastruktur politik yaitu mesin politik berupa alat-alat perlengkapan negara meskipun hanya berjalan secara nonformal dan tidak diakui.Pada kondisi inilah disebut “Conditio Sine Quo None” yaitu kondisi yang menyebabkan persatuan dan kesatuan dimana  ada satu musuh bersama yang menjadi titik konsentrasi dan akar dari setiap masalah yang dihadapi setiap komponen bangsa dan negara yaitu penjajahan.
            Sesudah perang dunia kedua,telah banyak negara memperoleh kemerdekaanya dari penjajah para era tahun 50-an.Kemerdekaan ini ditandai dengan kesanggupan dari aktor sistem politikk menentukan sikap politik,ideologi,bentuk pemerintahan dan tujuan-tujuan negara beserta kelengkapanya.Pada kondisi inilah partisipasi politik berbagai kelompok politik berakumulasi dalam memformulasi kepentingan politiknya dalam mengisi kemerdekaan dengan kelengkapan negara yang dibutuhkan. Terbukti mulai terjadi keterpecahan, ketidakstabilan, inefektifitas bahkan perombakan sistem politik secara besar-besaran dalam waktu yang cepat seperti parlementer / presidentill, satu partai /multi partai, barat atau timur beserta varian-varian lainya.Skala inilah politik banyak dibicarakan pada tingkat kenegaran beserta institusi serta konstitusinya melalui pendekatan institusionalisme,seolah medium dan centrum pembicaraan politik real adalah “Negara” yang banya kmengalami pergulatan dan perubahan sesuai tuntutan politis, ekonomi, budaya dan sosialnya sendiri.
            Pendekatan ini akhirnya berubah pada era tahun 70-an dimana fokus pembicaraan politik mengarah pada pendekatan keilmuan secara sistemik dimana rakyat,individu,unsur masyarakat menjadi objek kajian politik secara serius dikarenakan banykanya partisipasi,perubahan tuntutan dan dukungan dari rakyat bawah dalam membangun politik negara.Pertanyaan yang selalu muncul dalam kondisi seperti inilah yang melahirkan pertanyaan tentang sistem politik yang seperti apa yang terbaik ataupun proporsional  dan mumpuni untuk diterapkan oleh negara-negara yang baru berkembang dan merdeka agar tercipta sebuah tertib politik,modernisasi politik,stabilitas dan efektifitas politik dll.Darimna kita mesti memulai sebuah pembanguna politikk yang konsepsinya mampu menjawab keresahan kepentingan dari setiap aktor politik dalam berbagai dimensi baik politik,ekonomi,budaya,sosialnya sendiri sampai pada tataran praksis.Salahsatu pemikir yang getol dalam mengkaji teori-teori transisi yaitu :Samuel P.Huntington.keterlibatanya dalam mencurahkan pemikiran seputar kajian fenomenologis tentang realitas perubahan politik dunia ketiga,perubahan sistem politik,tertib politik,pembangunan politik dan sebagainya.
            Adalah S.P.Huntington yang berkata bahwa banyak studi tentang negara-negara baru telah mengabaikan pertumbuhan lembaga-lembaga politik dan sebaliknya telah memusatkan perhatiannya  pada perubahan-perubahan dalam masyarakat. Prof.Huntington mengkritik tendensi ini,sebap perubahan sosial yang pesat dapat merusak pembangunan politik.Hanya partai-partai yang kuat merupakan alternatif dari ketidakstabilan yang disebabkan oleh perubahan sosial yang pesat.
S.P.Huntington dan Pembangunan Politik
             “ Diantara hukum-hukum yang mengendalikan masyarakat manusia” kata de Tocqueville,” ada sebuah hukum yang nampaknya lebih tepat dan jelas daripada hukum-hukum yang lain.Bilaman manusia ingin tetap menjadi beradab,maka seni untuk hidup bergaul bersama harus tumbuh dan disempurnkan sesuai dengan peningkatan persamaan kondisi.
            Huntington mengutip pernyataan ini dalam tulisanya tentang “ pembangunan politik dan kemerosotan politik” yang menjadi bagian kajian analitiknya terhadap masalah-masalah pembangunan politik serta memberikan formulasi konseptual tentng tujuan pembangunan politik dinegara-negara berkembang dan baru merdeka.Analisis terhadap tujuan pembangunan politik tersebut ialah sebagai berikut :
Stabilitas Politik untuk Pembangunan Politik
Kebanyakan negara duna sekarang ini,persamaan dalam partisipasi politk berkembang jauh lebih cepat daripada tumbuhnya “ Seni untuk hidup bersama” tempo kecepatan  mobilisasi dan partisipasi politik lebih cepat ketimbang kemampuan menginstitusikan dan mengorganisasikanya.Dalam masyarakat seperti ini,mobilisasi dan pengembangan mengalami pertentangan yang tajam yang real dalam politik.
            Stabilitas politik akan tercapai apabila telah terbangun seni untuk hidup bersama tadi dimana tidak hanya diukur dari modernisasi politik yang berbicara tidak hanya pada skala politik konvensional yaitu dari adanya interaksi mutualis antar individu dan membentuk kelompok kecil yang sevisi dan bergerak untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.Sorotan pada mobilisasi dan partisipasi politik dalam modernisasi sistem sosial politik menuntut adanya rasionalisasi ,integrasi dan demokratisasi untuk melahirkan “masyarakat partisipatif “ yang membedakan masyarakat tradisional.Tujuan ini tercapai apabila terdapat stabilitas politik melalui penguatan institusi politik dalam mengatur ruang tindak politik masyarakat.Partai politik dalam hal ini menjadi sorotan dalam menginstitusikan partisipasi politik,jembatan emas antara masyarakat sampai kepada mesin politik negara sehingga memerlukan ketertiban,stabilitas politik dan keseimbangan antara partisipasi politik dengan institusi politik.

Demokrasi
Tujuan pembangunan politik adalah melahirkan  ciri - ciri umum lahirnya pembangunan politik menuju modernisasi politik.Bila Karl Deutsch menekankan definisi modernisasi pada mobilisasi sosial,peningkatan standar intelektualitas,urbanisasi,keterbukaan,media massa,industrialisasi,pendapatan per capita,perluasan basis masyarakat yang relevan secara politis,memperbanyak tuntutan pelayanan kepada pemerintah,peningkatan kemampuan institusi pemerintah,perluasan kaum elit,pertambahan partisipasi elit dan pergeseran perhatian dari tingkat daerah ke tingkat nasional.Huntington memahami dan menyepakati konsep ini dalam tataran ideal konseptual   atau pada cita-cita.Namun Huntington lebih menyoroti konsep ini sebagai sesuatu yang sangat arbiter ( api cita-cita ) dimana tidak mampu memberikan mekanisme kongkret yang mendekatkan antara idealitas dan realitas.Masyarakat demokratis seperti dicirikan diatas hanya mungkin tercapai ketika disertai kehandalan institusi politik mengakomodir semua partisipasi politik tersebut.Mobilisasi sosial dan partisipasi politik berkembagan pesat di Asia dan
Afrika namun semua itu mengalami kemunduran lembaga-lembaga politik pada wilayah itu,peningkatan ekonomi belum tentu mengstabilkan sosial,industrialisasi dan urbanisasi belum tentu memenuhi semua tuntutan,kemampuan intelektualitas justru hanya mengakibatkan banyaknya tuntutan masyarakat ketimbang dukungan atau konstribusinya sehingga yang terjadi adalah “ Revolusi kekecewaan yang massif ”.
            Pada taraf ini Huntington menginginkan demokratisasi yang semua idealitas konseptual diatas bisa direalisasikan dengan tidak hanya menyorot pada kondisi-kondisi sosial yang modern dalam sistem politik yang demokratis tetapi bagaimana menemukan mekanisme kongkret yang dapat mempertemukan idealitas dengan realitas secara linear,balance dan harmonis melalui indikator besarnya tuntutan masyarakat disertai besarnya dukungan serta konstribusi masyarakat terhadap lembaga politik untuk memajukan dan melaksanakanya.
Pertumbuhan Ekonomi
Kebanyakan negara yang sedang berkembang sekarang sedang mengimpor modernisasi politik secara massif namun melupakan lembaga politik yang kian merosot  termasuk program industrialisasi,urbanisasi,edukasi.Peningkatan secara cepat dan massif pada ketiga perangkat ini ternyata tidak memberikan jaminan lahirnya sebuah masyarakat demokratis dan berkeadilan dalam kemakmuran.
Persoalan yang muncul adalah modernisasi pada tiga perangkat tersebut yang bernilai ekonomis ternyata tidak disertai dengan kesanggupan masyarakat tradisional dan lembaga-lembaga tradisionalnya untuk adaptif terhadap modernisasi bahkan yang muncul adalah semakin tajamnya perpecahan antara lembaga masyarakat tradisional dan lembaga modern sehingga terdapat kesenjangan antara kota dan desa,kemerosotan moral dengan lahirnya birokrat korup,lahirnya budaya masyarakat korup,meningkatnya kekuatan  sosial yang merusak. Menurut Lucian Pye :”Mengharapkan kemampuan sebuah bangsa untuk membuat dan membentuk organisasi yang luas,kompleks dan fleksibel sesuai kebutuhan sosial politis masyarakat “
            Persoalan ekonomi menurut Huntington adalah bagaimana kita memformulasi konsep ekonomi yang menjamin kemajuan dan keadilan tanpa merusak lembaga tradisional yang justru menjadi penghambat lahirnya demokratisasi dan kemakmuran ekonomi.Modernisasi lembaga tradisional tidak mesti membunuh lembaganya termasuk persoalan modernisasi pada bidang ekonomi tetap mengikutseretakan rakyat secara real dan produktif disertai kompleksitas dan felsibilitas lebaga dalam mengaturnya.
Otonomi Nasional
Serupa dengan yang dibahasakan seperti diatas,bahwa proyek impor agenda pembangunan politik berupa industrialisasi, edukasi, urbanisasi, mobilisasi sosial, partisipasi sosial, pemapanan tuntutan sosial,pemapanan institusi pemerintah dan sebagainya harus disertai kesiapan masyarakt dalam membangun partisipasi dan institusi politiknya menuju kompleksitas yang fleksibel dalam mengatur semua agenda tersebut.
            Huntington dalam usahanya mengkaji konsepsi tentang linearitas,harmonitas antara pesatnya mobilisasi dan partisipasi serta urgensi modernisasi politik terhadap sistem politik menuju kedinamisan sistem politik dan tidak mengalami stagnasi bahkan kehancuran pada institusi seperti yang banyak terjadi di Asia dan Afrika pada dekade tahun 50-70-an terlihat dari konsepsinya yang menginginkan setiap agenda modernisasi pembangunan politik menemukan titik otonomnya secara real dan rasional serta fleksibel dimana antara tuntutan,dukungan serta kesanggupan institusi melaksanakanya  menjadi sebuah paket yang nyambung,sistematis,realistis dan meminimalkan rfesiko chaos politis.
            Pada modernisasi politik,Huntington menginginkan konsep politik otonom dengan meniadakan kesenjagan proyek politik modernisasi dengan reduksi atau mengasingkan pemikiran,masyarakat dan lembaga tradisional sehingga tidak melahirkan perpecahan antara agen modernisasi politik dengan masyarakt horisontal,pada persoalan politik tidak terjadi kesenjangan antara peran politik kota dan desa ,antara masyarakat birokrat dengan masyarakat desa.Organisasi politik yng ideal menurut Seydou Kouyete haruslah merupakan organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah perpaduan dimana masyarakt kota dan desa,nasional dan internasional,bertemu disatu titik.Ia harus mampu membuka keterasingan masyarakat kultur horisontal  menuju kesatuan nasional yang kian memperkokoh keberadaanya.Sehingga jurang pemisah antara moderniosasi dengan tradisonal,kota dan desa,kesenjagan ekonomi dll dipertemukan secara positif menuju kesatuan visi-visi politis secara utuh dan menyeluruh.
                 

Jangan Lupa Tinggalkan Jejak (Like & Coment)