Rabu, 04 Januari 2012

Menghapus Westernisasi Melukiskan Akulturasi

Era globalisasi merupakan saat yang tepat untuk berbagi kebudayaan. Di zaman semodern ini, komunikasi antar negara bukanlah sesuatu yang mustahil. Dengan teknologi yang semakin canggih, slogan “dunia dalam genggaman” tak ubahnya seperti mimpi masa lalu yang sekarang telah terwujud. Meskipun terpisah jarak beribu-ribu kilometer, komunikasi dapat dilakukan dalam kecepatan sepermilidetik kapanpun dimanapun oleh siapapun. Sebagai bangsa yang menjadi “penguasa” teknologi itulah, bangsa barat menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Alhasil, bangsa barat menjadi kiblat kemajuan teknologi dan bangsa-bangsa lain selalu berkaca pada dunia barat, termasuk Indonesia. Tapi ternyata tak hanya teknologi saja yang kita adopsi, perlahan-lahan budaya barat juga mulai mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah yang disebut dengan westernisasi.
Dikutip dari KOMPAS, westernisasi adalah suatu perbuatan seseorang yang mulai kehilangan nasionalismenya, yang meniru atau melakukan aktivitas yang bersifat kebarat-baratan (budaya orang barat). Westernisasi bak wabah yang siap menerjang kapan saja jika kita tak lagi menghargai budaya sendiri. Dari pandangan sosiologi, westernisasi ini bisa menimublkan dampak negatif terhadap suatu budaya apabila proses penyerapan kebudayaannya terlalu berlebihan dengan tidak memperhatikan aspek-aspek dari budaya lokal itu sendiri. Ironisnya, hal ini mulai tampak di Indonesia, hegemoni westernisasi telah melahirkan suatu konsepsi pada kalangan remaja terutama bahwa kalau mau gaul harus berpakaian atau meniru gaya orang-orang barat. Di sisi lain, hal ini menyebabkan lunturnya jiwa-jiwa nasionalis dan cinta produk dalam negeri. Dan ketika budaya kita diklaim oleh “tetangga dekat”, yang bisa dilakukan hanya mencaci dan mencemooh mereka. Padahal kalau kita mau berkaca, kita sendirilah yang telah menelantarkan kekayaan bangsa ini. Sehingga sedikit aneh apabila kita menjuluki mereka “maling”, padahal kita sendiri telah “membuangnya”.
Westernisasi, Penjajahan Gaya Modern
Pengaruh budaya barat tak hanya berimbas pada orang-orang di kota. Semua golongan, baik itu tua maupun muda telah termakan suatu paham yang menuntun kita untuk meniru dan menerapkan budaya-budaya orang barat kedalam kehidupan. Tanpa disadari, anak-anak bangsa telah terbuai dengan pola-pola hidup yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa. Perubahan gaya berpakaian, tren-tren yang didominasi oleh bangsa barat, bahkan sampai hilangnya kesopanan dan pitutur luhur pada anak-anak muda sekarang seolah-olah merupakan sebuah sistem yang diatur dengan sangat matang agar seluruh aspek kehidupan dikuasai bangsa barat. Fenomena ini mengingatkan kita pada luka lama yang pernah menjangkit ibu pertiwi, ketika bangsa kita dijajah oleh bangsa barat dan baru bisa keluar dari belenggu itu ratusan tahun lamanya. Sekarang penjajah itu sudah tidak lagi bertahta di nusantara, tapi ancamannya kini jauh lebih dahsyat dengan sedikit demi sedikit mengelupas kepribadian bangsa sampai suatu saat nanti kita benar-benar berada dalam kekangan mereka.
Era globalisasi seolah mendukung proses ini sehingga tampak lebih halus dengan menampilkan “wajah bersahabat” dengan menuntun kedalam budaya-budaya mereka. Jika kita berhasil termakan buaian ini, sama halnya dengan ikan yang  telah berhasil lepas dari kail tapi malah menuju ke jaring yang telah disiapkan. Apabila kita tidak selektif dalam menyikapi proses westernisasi ini tentu saja akan menyebabkan lunturnya jati diri bangsa dan budaya barat akan mendonimasi seluruh aspek kehidupan. Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang besar dimana setiap daerah memiliki budaya-budaya masing-masing yang itu merupakan kekayaan dan bisa menjadi ikon untuk menarik bangsa lain. Ingat, bangsa yang baik adalah bangsa yang mengenal budayanya. Jika kita yang sebenarnya sudah memiliki budaya yang hebat lalu kenapa harus meniru budaya bangsa lain?
Membangun Kembali Jati Diri Bangsa Dengan Akulturasi yang Selektif
Dengan gencarnya arus perubahan kebudayaan ke arah westernisasi, kita sebagai kalangan terpelajar seharusnya dapat berlaku selektif menyikapi fenomena ini. Memang budaya bangsa barat tak seluruhnya negatif, hanya saja kita belum mampu menilah-milah manakah yang sesuai dengan budaya kita. Sebagai contoh, budaya minum-minuman beralkohol yang telah menjangkit bangsa ini memang berasal dari pengaruh budaya barat, tapi coba kalau kita mau berfikir, lingkungan orang barat adalah lingkungan yang beriklim dingin, tak aneh jika mereka mengkosumsi minuman beralkohol yang secara fisiologis dapat meningkatkan kehangatan tubuh. Tapi bagaimana dengan di Indonesia yang cuacanya cenderung panas, budaya seperti ini tentu saja tidak cocok, karena berlagak agar seperti bangsa barat akhirnya yang terjadi hanyalah merusak moral dan menyebabkan mabuk-mabukan. Seperti apa kata pepatah, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap bangsa pasti memiliki perbedaan-perbedaan kebudayaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Proses penyerapan budaya yang berlebihan dan tidak tepat sasaran seperti inilah yang ditakutkan dapat melunturkan jati diri bangsa Indonesia. Yang kita perlukan sebenarnya hanyalah perlakuan selektif dalam memilih mana budaya yang pantas untuk kita adopsi. Seperti halnya usus manusia yang menyaring sari-sari makanan, tentu saja yang dibiarkan untuk diserap adalah zat-zat yang bermanfaat, sedangkan yang tidak bermanfaat bagi tubuh dibiarkan lewat sampai pembuangan. Kalau kita analogikan hal ini dalam proses akulturasi budaya, pasti akan sangat baik hasilnya. Sehingga pengaruh westernisasi tidak lagi menjadi momok yang menakutkan karena proses akulurasi yang selektif telah menuntun kita agar tidak melupakan budaya sendiri dengan tetap menerima budaya-budaya barat.

NASEHAT YANG BAIK KEPADA SAUDARA KITA

Judul di atas mengisyaratkan bahwa nasehat dapat dibagi menjadi dua kategori; nasehat yang baik dan nasehat yang tidak baik. Padahal secara umum, kata “nasehat” sering dikonotasikan hanya dalam rangka kebaikan dan seharusnya ditujukan untuk memberi kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Tidak mungkin seseorang menjerumuskan orang lain melalui media nasehat atau merupakan hal yang mustahil, nasehat yang disampaikan justru bertujuan untuk menjerumuskan orang ke dalam kemaksiatan dan kesusahan.

Namun penggunaan “nasehat” dalam konteks yang negatif ternyata digunakan oleh Al-Qur’an, yaitu nasehat yang justru akan menjerumuskan orang lain ke dalam bahaya, seperti yang digambarkan dalam kisah perjalanan nabi Yusuf bersama saudara-saudaranya yang hendak membunuhnya. Demikian juga, nasehat yang pernah disampaikan oleh Iblis kepada nabi Adam dan Hawa yang justru untuk menjerumuskan keduanya ke dalam kemaksiatan.

Nasehat yang menjerumuskan yang dimaksud adalah bujuk rayu saudara-saudara Yusuf as untuk meyakinkan ayahanda mereka Ya’qub as agar mengizinkan Yusuf bermain bersama mereka. Padahal dibalik nasehat itu, sesungguhnya mereka menyembunyikan niat jahat terhadap Yusuf yang memang sudah dirancang dengan matang.

Allah swt berfirman, “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang memberi nasehat untuk kebaikannya.” Yusuf: 11.

Demikian juga syaitan dalam memperdaya manusia terkadang menggunakan media nasehat seakan-akan ia penasehat yang tulus seperti yang pernah berlaku terhadap Adam dan Hawa yang diabadikan Allah dalam surah Al-A’raf: 21, “Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua”.

Untuk menyakinkan bahwa nasehatnya tulus dan tidak bermotif lain selain dari ingin memberikan kebahagiaan kepada keduanya, iblis bersumpah sebagai seorang penasehat yang ikhlas. Bahkan secara bahasa seperti yang diungkapkan oleh Imam Az-Zamakhsyari nasehat iblis diperkuat dengan tiga penegasan (ta’kid); lafadz sumpah itu sendiri, nun dan lam ta’kid adalah semata-mata untuk memperkuat keyakinan penerima nasehat bahwa ia benar-benar tulus dalam memberikan nasehatnya. Sungguh di luar dugaan dan kebiasaan memang, sehingga kita dituntut waspada terhadapnya.

Berdasarkan pembacaan terhadap kata “nasehat” dengan seluruh derivasinya yang tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tercatat bahwa kata ini tersebut sebanyak 13 kali. Dari ketiga belas ayat ini, surah Al-A’raf merupakan surah yang terbanyak menyebutkan kata ini, yaitu sebanyak 6 kali, hampir setengah dari penyebutan “nasehat” dalam seluruh ayat Al-Qur’an. Hal ini sangat wajar karena memang surah Al-A’raf banyak mengungkap tentang sikap dakwah para nabi Allah swt yang secara garis besar mereka adalah para penasehat ulung yang terbaik dan sangat bijak dalam menyampaikan pesan dan nasehat kebaikan kepada seluruh umat yang diistilahkan oleh Al-Qur’an sebagai “Nashihun Amin”. Sehingga dikatakan bahwa salah satu ayat dari surah Al-A’raf ini seperti yang dikatakan oleh Az-Zamakhsyari dan Ibnu Asyur sebagai “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dalam pembahasan akhlak yang mulia. Padahal nasehat menasehati termasuk akhlak yang mulia yang tentunya harus dibingkai dan dikemas serta berlangsung dalam suasana ukhuwwah dan koridor akhlak yang mulia juga. Jika tidak, maka tradisi ini akan kehilangan signifikansi nilainya dalam konteks akhlak Islam.

Pada kapasitas para nabi sebagai ‘nashihun amin’ yang disebutkan diantaranya dalam surah Al-A’raf: 68, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” layak dan patut untuk dijadikan cermin dan contoh teladan, karena demikian seharusnya para penasehat itu bersikap dan berperilaku, sehingga tidak mudah dan gampang mengumbar nasehat kepada seseorang.

Inilah arti nasehat yang sesungguhnya menurut bahasa, yaitu mencari dan memilah sebuah perbuatan atau perkataan yang mendatangkan maslahat bagi sahabatnya. Seperti ungkapan bahasa Arab, Nashihul ‘Asal yang artinya madu yang murni yang telah dipilah dari beberapa madu yang banyak. Betapa nasehat yang baik hanya bermuatan positif dan melalui proses pemilahan kata atau tindakan yang tepat dan bisa memberikan manfaat bagi si penerima, bukan malah sebaliknya.

Jika demikian, memang tidak mudah memberikan nasehat yang baik kepada seseorang. Agar amaliah nasehat menasehati berlangsung dengan baik tanpa melahirkan su’u dzan dan kebencian, atau berubah status menjadi media “ta’yir”, maka yang harus diperhatikan dalam memberikan nasehat diantaranya adalah muatan nasehat itu sendiri, cara, media dan adab menyampaikan nasehat, suasana dan status sosial penerima nasehat, serta target yang hendak dicapai dari penyampaian nasehat tersebut.

Sebagai ilustrasi bisa dikemukakan disini bahwa pada ketika khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melaksanakan thawaf, tiba-tiba seseorang berkata kepadanya dengan nada agak ketus: “Hai Amirul Mukminin, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada engkau dengan bahasa yang agak keras, maka terimalah dengan sabar!”. Amirul Mukminin menjawab: “Tidak, ini bukan sesuatu yang baik dan bukan pula merupakan sebuah penghormatan. Allah telah mengutus seseorang yang lebih baik dari kamu yaitu Musa as kepada orang yang lebih buruk dari saya yaitu Fir’aun, tetapi Allah memerintahkan Musa agar menyampaikan pesan atau nasehat kepadanya justru dengan bahasa yang lembut.

Simaklah firman Allah swt, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Thahaa: 43-44) (lihat Al-Mujalasah WaJawahirul Ilm karya Imam Abu Bakar Ahmad bin Marwan: 3/364). Disini nasehat harus berupa ucapan yang mampu meluluhkan hati penerimanya dan menyadarkannya dari kesalahan. Sehingga bukan termasuk nasehat yang baik jika kemudian penerima nasehat malah menjadi kesal, jengkel dan sebagainya.

Dalam konteks ini, Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Ruh membedakan antara pembicaraan yang bermuatan nasehat dengan pembicaraan yang berunsur “ta’nib atau ta’yir” (pembicaraan yang berkonotasi negatif untuk mengaibkan orang dan menelanjangi kejelekannya) bahwa nasehat merupakan sebuah kebaikan yang disampaikan kepada seseorang dengan cara yang santun, bijak dan baik serta penuh rasa kasih sayang dan tulus hanya mengharapkan ridho Allah swt dan kebaikan pada diri penerima nasehat. Sedangkan ta’nib bertujuan menghinakan dan menjelekkan seseorang meskipun dengan cara seolah-olah sedang memberi nasehat. Senada dengan pernyataan ini, Imam Syafi’i menjelaskan uslub yang terbaik dalam menyampaikan nasehat yang tersebut dalam kumpulan syairnya )Diwan Asy-syafi’i/ 96):

تعمدنى بنصحك فى انفرادى وجنبنى النصيحة فى الجماعه
فإن النصح بين الناس نوع من التوبيخ لا أرضى استماعه
وإن خالفتنى وعصيت قولى فلا تجزع إذا لم تعط طاعه

“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku
Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang
Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk
Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya
Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini
Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Disinilah akan nampak perbedaan antara seorang mukmin yang tulus memberi nasehat dengan seorang yang disebut sebagai Al-fajir yang mempunyai motifasi tertentu dalam nasehatnya seperti yang disampaikan oleh Al-Fudhail bin Iyadh,

“Seorang mukmin itu selalu berusaha menutupi kesalahan orang lain lalu menasehatinya, sedangkan seorang pelaku maksiat cenderung berusaha membongkar aib orang lain dan menghinakannya”.

Dalam bahasa Rasul, amaliah nasehat menasehati merupakan akhlak unggulan sehingga seluruh agama ini dikatakan sebagai nasehat, “Agama itu adalah nasehat” demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Tamim Ad-Dari. Bahkan sahabat Jarir bin Abdullah menjadikan nasehat sebagai salah satu poin baiat kepada Rasulullah saw: “Saya berbaiat kepada Rasulullah untuk senantiasa mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mengamalkan nasehat bagi setiap muslim”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

Sungguh – karena kelemahan insani – setiap kita sangat membutuhkan nasehat. Tentunya, nasehat yang baik, yang disampaikan dengan cara yang baik, dan dalam koridor akhlak yang baik, serta untuk tujuan kebaikan dan perbaikan.

Semoga budaya nasehat menasehati yang merupakan inti ajaran Islam akan senantiasa menjadi media komunikasi yang efektif antara umat Islam dalam menyampaikan masukan dan ide untuk kebaikan bersama dan budaya ini tidak menjadi media atau ajang ‘ta’yir” antara satu individu dengan individu yang lain, apalagi antar satu komunitas dengan komunitas yang lain. Allah swt berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Al-Hujurat:12. Allahu a’lam

Jangan Lupa Tinggalkan Jejak (Like & Coment)