Senin, 31 Desember 2012

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MOLOKU LOLODA

SEBUAH MATA RANTAI SEJARAH YANG TERPUTUS
Oleh ; Mustafa Mansur, SS
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku Utara
Staf Pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Pengantar
Perjalanan waktu yang panjang dari kehidupan manusia di daerah ini hingga keberadaan kita saat ini, cenderung secara alamiah maupun tindakan ketidaksadaran manusia melunturkan fakta-fakta sejarah. Oleh karena itu, kesadaran untuk menguak kembali fakta-fakta historis sebagai landasan berpijak ke depan yang lebih baik adalah tindakan yang sangat bijaksana. Tindakan ini merupakan salah satu makna belajar sejarah, yakni menjadi manusia yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak.
Mengacu pada topik di atas, maka makna belajar sejarah dari tulisan ini paling tidak dapat menggugah kesadaran akan nilai-nilai sejarah tanpa harus terjebak pada romantisme masa lalu. Untuk itu bagi generasi Loloda, adalah sesuatu yang tidak berlebihan jika mempelajari sejarahnya sekaligus merekonstruksi nlai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai upaya merancanag bagun masa depan negerinya yang lebih baik.
B. Loloda dalam Kerumunan Politik di Masa Lalu
Perkembangan sejarah Maluku Utara telah memperlihatkan bahwa Loloda merupakan sebuah kawasan dengan komunitas masyarakat yang pada awalnya terbentuk melalui jaringan kekuasaan tradisional. Kondisi ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena wilayah ini pernah dilegitimasi melalui organisasi politik yang berbentuk kerajaan. Dalam catatan sejarah politik di Maluku Utara, dijelaskan bahwa Kerajaan Loloda merupakan salah satu Kerajaan Maluku yang tidak terkonfigurasi dalam kesatuan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Kenyataan ini disebabkan Kerajaan Loloda tidak sempat menghadiri pertemuan Raja-raja Maluku di Pulau Moti (Moti Staten Verbond) pada tahun 1322 yang diprakarsai oleh Raja/Kolano Ternate Sida Arief Malamo.
Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini terbenuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Nagara Kartagama Majapahit sebagamana ditulis oleh MPU Prapnca menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano di Loloda Halmahera.
Menurut Pemerhati Sejarah lokal Abdul Hamid Hasan dalam bukunya “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” mengungkapkan bahwa secara umum Kerajaan-kerajaan Maluku termasuk Kerajaan Loloda dan Kerajaan Moro berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua di Halmahera.
Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik yang bergelar Sri Maharaja yang bertahta di bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
Menurut cerita masyarakat Loloda mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dngan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Dari peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut Loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.
Dari beberapa versi di atas menunjukkan bahwa keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di Maluku jelas merupakan suatu keniscayaan sejarah. Sebagai Kerajaan yang tidak mengikuti Persekutuan Moti (Moti Staten Verbond) tahun 1322 sebagaimana disebutkan di atas, maka Kerajaan Loloda pun kemudian tidak terlalu mendominasi panggung sejarah Maluku Utara. Hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena sesungguhnya pengaruh politik Kerajaan Loloda juga tidak teralalu signifikan dalam percaturan politik Kerajaan-kerajaan Maluku ketika itu.
Ketka datangnya bangsa Portogis di Maluku pada abad ke-16, pengaruh Kerajaan Loloda sudah tidak berpengaruh untuk kepentingan Portogis. Dari sejumlah sumber yang ada, hanya mengungkapkan bahwa kepentingan Portogis di Halmahera Utara lebih menonjol pada kawasan Kerajaan Moro yang belakangan terbagi menjadi Moro-Tia dan Moro-Tai (Moro Daratan dan Moro diseberang Lautan). Kondisi ini terekam dari pengaruh Missi Ordo Jesuit Khatolik yang pada akhirnya berhasil membaptis sebagian orang-orang Moro termasuk Raja Moro di Mamuya dengan nama baptisan Don Joao de Mamuya.
Ketika Sultan Baabullah Datu Sjah berhasil mengusir Portogis dari Maluku, Kerajaan Moro kemudian dianeksasi dan digabungkan kedalam wilayah Kesultanan Ternate. Peristiwa ini terjadi pada perempatan terakhir abad ke-16. Dengan demikian maka riwayat Kerajaan Moro pun praktis berakhir. Sementara Kerajaan Loloda masih tetap eksis sebagai salah satu Kerajaan Maluku di Utara Halmahera. Sebagai Kerajaan Maluku yang terletak di Utara Halmahera, Kerajaan Loloda berkedudukan sebagai “Ngara Mabeno” (Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.
Dalam memori serah terima jabatan Gubernur VOC Maluku dari Robertus Padtgbrugge (1677-1682) kepada penggantinya Gubernur Yacob Loobs (1682-1684), secara jelas telah menyampaikan kedudukan Raja-raja Maluku yakni ; Loloda, Ngara Mabeno (Dinding Pintu), Jailolo, Jiko maklano (Penguasa Teluk), Tidore, Kie Makolano (Penguasa Pegunungan), Ternate, Alam Makolano (Penguasa Maluku) dan Bacan, Dehe Makolano (Penguasa Daerah Ujung). Dari memori ini menunjukan bahwa sampai abad ke-17, Kerajaan Loloda tersebut masih tetap eksis dan berintegrasi sebagai salah satu Kerajaan Maluku sebagaimana halnya Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Bahkan bila dikaji secara objektif, bisa dijelaskan bahwa eksistensi Kerajaan Jailolo-lah yang kemudian berakhir pada abad ini juga yakni pada pada tahun 1684 ketika wafatnya Pangeran Jailolo Kaicil Alam. Perlu juga ditambahkan bahwa sebelum wafat, Kaicil Alam telah ditempatkan sebagai kerabat Kesultanan Ternate karena dinikahi dengan Boki Gamalama adik Sultan Sibori Amsterdam Ternate. Setelah Kacil Alam wafat, maka Jailolo yang sebelumnya berstatus sebagai Kerajaan menurun menjadi Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepala Distrik atau Hoofh Distrik bergelar Sangaji Jailolo.
Sementara status dan pengaruh politik Kerajaan Loloda baru mengalami degradasi pada Abad ke-18. Kondisi ini bisa dilihat bahwa secara politis, dalam abad ke-18 ini Maluku Utara hanya terbagi kedalam tiga kerajaan yang mempunyai hubungan formal dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli remaph-rempah. Ketiga kerajaan tersebut adalah ; Ternate. Tidore dan Bacan. Sdangkan Kerajaan Loloda seakan-akan disetarakan statusnya setingkat Distrik seperti halnya Kerajaan Jailolo yang telah menjadi Distrik sejak abad ke-17. Hal ini bisa dilihat berdasarkan sumber sejarah yang tersediah menjelaskan bahwa dalam abad ke-18 ini terdapat sembilan Distrik di Halmahera Utara yang berada dibawah Kesultanan Ternate, yakni ; (1) Galela (2) Tobelo (3) Kau (4) Loloda (5) Gamkonora (6) Tolofuo (7) Tobaru (8) Sahu dan (9) Jailolo. Juga terdapat satu Distrik di Zazirah selatan yakni Distrik Gane. Dalam sumber ini lebih jelas diungkapkan bahwa Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau yang biasa disebut Sangaji, tetapi Penguasa Loloda tetap menggunakan gelar Kolano Loloda. Ini menunjukan bahwa ada upaya Penguasa Loloda untuk mempertahankan integritas Kerajaannya. Sementara di Jailolo, Kepala Distriknya tetap menggunakan gelar Sangaji Jailolo.
Status Jailolo kemudian mengalami kontroversi antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore ketika Sultan Nuku sengaja membangkitkan kembali Kerajaan Jailolo pada tahun 1796 dengan mengangkat Jogugu Kesultanan Tidore dengan gelar Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo. Sebelum memangku jabatan Jogugu, Muhammad Arif Billa pernah memangku jabatan Sangaji Tahane Makian sehingga ia sering disebut Jogugu Tahane. Upaya Nuku untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo ini merupakan inspirasi dari cita-cita pendahulunya yakni Sultan Syaifuddin yang pernah berinisiatif untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sebagai salah satu pilar pranata politik di Maluku. Akan tetapi inisiatif Sultan Sayifudin ketika itu tidak pernah ditanggapi oleh VOC maupun Kesultanan Ternate sebagai patner kepercayaannya.
Keberadaan Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku dengan mengangkat Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo sesungguhnya menimbulkan kontroversi antara sebagian orang-orang Alifuru yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate dan sebagian lainnya yang menyatakan setia kepada Nuku. Hal ini terjadi karena Muhammad Arif Billa bukan berasal dari keturunan Raja-raja Jailolo. Akan tetapi menurut Nuku, bahwa pengangkatan Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo adalah sah. Dalam satu suratnya kepada Gezaghebber Ternate, Nuku menjelaskan bahwa pengangkatan Raja Jailolo itu didukung tidak saja oleh para Bobato negeri Soa-sio dan negeri-negeri lainnya di Pulau Tidore, tetapi juga oleh para Bobato Halmahera Timur (Maba, Weda, Patani) dan beberapa Bobato di Halmahera Utara termasuk Raja Loloda dan anggota bangsawan Ternate yang melarikan diri ke Tidore.
Dalam uraian Surat Nuku kepada Gesaghebber Ternate di atas, bisa dikatakan bahwa Kerajaan Loloda dalam pandangan Nuku pun masih memiliki kekuasaan atas wilayahnya. Sedangkan fungsi Kesultanan Jailolo yang baru dibentuknya itu pada prinsipnya berada dibawah Nuku dalam mengimbangi hegemoni terhadap Kerajaan-kerajaan Maluku lainnya terutama Ternate. Sementara dimata Kesultanan Ternate, bisa dikatakan bahwa status Jailolo tetap merupakan sebuah Distrik yang berada dibawah otoritasnya.
Eksistensi Kerajaan Jailolo yang dibentuk oleh Nuku di atas ternyata tidak berlangsung lama, Setelah Nuku wafat pada tahun 1805, integritas Kerajaan Jailolo inipun terancam dan mendorong Raja Jailolo Muhammad Arif Billa bersama keluarga dan pengikutnya meningalkan Jailolo. Mereka memburu hutan belantara menuju pedalaman Timur Halmahera dan akhirnya Muhammad Arif Billa tewas akibat terjatuh di sebuah jurang yang sangat berbahaya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1807.
Setelah Muhammad Arif Billa wafat, puteranya Kimalaha Sugi mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo dihadapan pengikutnya dengan gelar Muhammad Asgar. Ketika Inggris berkuasa di Maluku (1810-1817), Muhammad Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo karena ia belum pernah diangkat oleh satu penguasa yang berhak, dan menurut Inggris ia tidak berhak menggunakan gelar Sultan Jailolo. Ia kemudian ditangkap dan di asingkan ke Seram Utara. Dari peristiwa inilah keluarga dan pengikut Muhammad Asgar kemudian mengungsi ke Seram Utara untuk bergabung dengan Muhammad Asgar yang dianggap sebagai Rajanya. Akan tetapi ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan di Maluku kepada Belanda pada tahun 1817, Muhammad Asgar kemudian diserahkan kepada Belanda. Ketika Muhammad Asgar mengajukan permohonan kepada Panitia pengambil alih kekuasaan dari Inggris kepada Belanda-agar dibebaskan dan diperkenankan untuk kembali memimpin masyarkatnya di Halmahera, ia pun kemudian diasingkan lagi oleh Belanda ke Jepara.
Setelah Muhammad Asgar diasingkan ke Jepara, adiknya Hajudin menyatakan dirinya sebagai Sultan Jailolo terhadap pengikutnya. Ia dan pengikutnya meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui sebagai Sultan Jailolo. Permintaan itu dilakukan melalui tekanan dan aksi-aksi, akan tetapi upaya mereka tidak pernah ditanggapi oleh pihak Belanda bahkan Hajudin dinyatakan statusnya sebaai buron dan pembangkan.
Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda tehadap Kerajaan Jailolo sebagamana yang diupayakan oleh Hajudin dan pengikutnya di atas, baru membuahkan hasil ketika Pitter Merkus menjabat sebagai Gubernur Maluku (1822-1828). Akan tetapi Gubernur Pitter Merkus mengusulkan agar Kerajaan Jailolo yang akan dibentuk berlokasi di suatu koloni wilayah di Seram Pasir bukan di Halmahera. Usulan ini akhirnya diterima oleh Hajudin, namun kedudukan Sultannya diserahkan kepada kakaknya Muhammad Asgar yang berada di Jepara. Berdasarkan permintaan Hajudin tersebut, pada tahun 1825 Pemerintah Hindia Belanda pun mengembalikan Muhammad Asgar ke Ambon dan pada tangal 25 Januari 1826, Muhammad Asgar dilantik sebagai Sultan Jailolo yang akhirnya dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram.
Sebagai Kerajaan yang memiliki hubungan politik dengan Belanda, Kerajaan Jailolo di pengasingan Seram inipun praktis berada dbawah kendali Pemerintah Hindia Belanda. Ketika Muhammad Asgar dan pengikutnya membangkan ingin kembali membangun kekuasaannya di Jailolo Halmahera, pada tahun 1830 Pemerintah Hindia pun kemudian melikuidasi Kerajaan Jailolo di Pengasingan Seram ini. Muhammad Asgar dan keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur Jawa Barat. Peristiwa ini menandakan berkahirnya Kerajaan Jailolo babak kedua.
Sementara Status Jailolo di Halmahera tetap merupakan sebuah Distrik dibawah otoritas Kesultanan Ternate dengan Kepaa Distrik bergelar Sangaji Jailolo. Pada tahun 1868, status Distrik Jailolo berubah menjadi Soa/Kampung dengan Kepala Kampung bergelar Fanyira Jailolo.
Belakangan pada tahun 1886, Dano Hasan Baba seorang bangsawan asal Ternate berupaya untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo. Ia meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Akan tetapi permintaannya tidak pernah mendapat respon positif bahkan ia dianggap menjadi pembangkan. Dano Hasan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Pulau Muntok Sumatera.
Sementara status Loloda tetap dipandang sebagai sebuah Distrik meskipun Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dalam Suarat Gezaghebber Ternate tertanggal 8 September 1808 yang memuat laporan tahunan kepada Gubernument, menjelaskan bahwa Kepala Distrik Loloda yang memakai titel Kolano Loloda memiliki perangkat Pemerintahan seperti pada Kerajaan Ternate yakni Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu, Kapita Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah lainya. Kenyataan ini menunjukan bahwa pada abad ke-19 ini, Kerajaan Loloda masih tetap eksis, hanya saja peranan politiknya tidak bisa mengimbangi kekuatan politik Kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan. Bahkan Loloda seakan-akan berada dibawah Kesultanan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Dalam Silsilah Raja-raja Loloda maupun sumber-sumber lisan masyarakat Loloda, mengungkapkan bahwa Kerajaan Loloda baru brakhir pada awal abad ke-20 yakni pada tahun 1908. Dalam sejarah masyarakat Loloda, tahun 1908 dikenang dengan sebutan Kolano Madodogu (Masa Raja terakhir). Peristiwa ini berkaitan dengan pergolakan politik di internal kerajaan dan pengaruh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembayaran Balasting (Pajak Diri). Diungkapkan dalam kisah ini bahwa ketika wafatnya Kolano Sunia dalam bilangan awal abad ke-20 ini, terjadi perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Lau Muda). Sementara Kayoa hanya berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan Balasting oleh pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran Balasting atau pajak mesti diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda.
Aksi Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi warga untuk menjatuhkan kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri Pajak Belanda sedang berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa Laba yang bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun mendatangi Keraton sambil membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di hadapan Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes terhadap Kolano Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah pesuruh Kaicil Kayoa.
Akibat pembunhan terhadap Mantri Pajak Belanda di atas, menimbulkan amarah pihak Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia. Belanda pun kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredah aksi yang dilakukan oleh tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan aparat Belanda di Loloda tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat yang telah disiapkan oleh Kaicil Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda dikenang sebagai peristiwa Perang Laba (Rogu Laba) tahun 1908.
Perlawanan terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudia dibawah ke Ternate bersama Permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya. Karena tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya, Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia sempat dibawah ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1915. Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di Ternate. Joboki Habiba wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat pada tahun 1915. Keadaan ini menggambarkan bahwa Kolano Syamsudin wafat setelah dikembalikan oleh Belanda dari pengasingan di Pulau Jawa.
Sementara di Jailolo, pemberontakan serupa baru terjadi pada tahun 1914 yang dipelopori oleh Kapita Banau. Atas pemberontakan tersebut, Kontrollir Belanda Aggerbek tewas terbunuh.
Sebagai akibat dari pemberontakan yang dilakukan oleh warga Jailolo tersebut di atas yang telah menjadi kawula Kesultanan Ternate mengakibatkan Sultan Ternate Muhammad Usman Sjah dituduh oleh Belanda terlibat dalam pemberontakannya. Atas tuduhan itu, maka melalui Keputusan (Besluit) Gubernument no. 47 tertanggal 23 September 1915, Sultan Muhammad Usman kemudian dinyatakan diberhentikannya sebagai Sultan Ternate. Ia dan putera tertuanya diasingkan ke Bandung dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1933. Semasa dalam pengasingannya, Pemerintahan Kesultanan Ternate dijalankan oleh para Bobato. Hal ini berdasarkan Besluit Pemerintah Hindia Belanda no. 7 tangal 10 Mei 1916.
Setelah diasingkannya Kolano Syamsuddin sejak tahun 1908 ketika terjadi pergolakan di Loloda, maka mulai saat itulah Kerajaan Loloda pun berakhir. Loloda pun kemudian menjadi wilayah otoritas penuh dibawah Kesultanan Ternate, meskipun pada masa sebelumnya Loloda sudah merupakan bagian dari Kerajaan Ternate dalam membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Belanda.
Berdasarkan sumber-sumber dari masyarakat Loloda, bahwa setelah berakhirnya kekuasaan Kolano Syamsuddin atas negeri Loloda, Pemerintahan di Loloda kemudian disesuaikan dengan menggunakan gelar Sangaji. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya, yakni Penguasa Loloda senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa para sangaji Loloda adalah orang-orang luar yang ditempatkan oleh pihak Kesultanan Ternate.
Belakangan pada tahun 1930, status Distrik Loloda dibagi menjadi empat Onder Distrik dengan Kepala Onderf Distrik (Hoof Onder Distrik) disebut Hamente (terkadang disebut Kepala Mente), yakni (1) Onder Distrik Soa-sio yang mencakup wilayah Loloda bagian Selatan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Djami Bin Syamsuddin (Putera Kedua Kolano Syamsuddin). (2) Onder Distrik Baja yang mencakup wilayah Loloda bagian Tengah dengan kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Kaicil Puasa (Putera Kapita Lau Arafane), (3) Onder Distrik Dama untuk wilayah Loloda bagian Kepulauan dengan Kepala Onder Distrik atau Hamente dipegang oleh Hammanur, dan (5) Onder Distrik Dorume untuk Loloda bagian Utara. Hal ini berdasarkan Zelf Bestuur Releging Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 yang tetap membagi Pemerintahan Maluku Utara kedalam tiga Swapraja Kesultanan yakni Swaparaja Kesultanan Ternate, Tidore dan Bacan. Tiap Swaparaja Kesultanan dibagi kedalam beberapa Distrik dan Distrik membawahi beberapa Onder Distrik.
C. Status Kerajaan Loloda setelah Kemerdekaan Indonesia.
Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintahan Maluku Utara masih menerapkan pola Pemerintahan sebelumnya yakni kolaborasi antara pola Pemerintahan ala kerajaan dan pola Pemerintahan Hindia Belanda. Pada fase ini daerah Maluku Utara masih berbentuk Keresidenan. Sedangkan pada tingkat bawah dinamakan Distrik dengan Kepala Distrik disebut Sangaji. Sementara Onder Distrik sudah tidak diberlakukan. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1960 saat perubahan nomenklatur dari nama Keresidenan menjadi Kabupaten dan Distrik berubah menjadi Kecamatan. Salah satu ciri yang membedakan dengan masa sebelum kemerdekaan adalah Kepala Keresidenan atau Residen pada masa setelah kemerdekaan ini dijabat oleh Sultan. Adapun nama-nama Residen Maluku utara dimaksud adalah :
1. Residen Iskandar Muhammad Djabir Sjah (Sultan Ternate) 1945-1954
2. Residen Zainal Abidin Sjah (Sultan Tidore) 1954-1956
3. Residen Dede Muksin Usman Sjah (Sultan Bacan) 1956-1960
Berkenaan dengan pola Pemerintahan di atas, maka pengangkatan dan penempatan para Kepala Distrik atau sangaji masih menjadi kewenangan Sultan yang juga sebagai Kepala Daerah atau Residen, tidak terkecuali bagi Distrik Loloda.
Status Loloda sebagai Distrik merupakan konsekwensi dari sistem penyetaraan status Kerajaan Loloda setingkat Distrik sejak abad ke-18 meskipun Kepala Distrik Loloda (Hoofh Distrik) senantiasa memakai titel Kolano Loloda. Akan tetapi satu hal yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia ini adalah terdapat kedudukan Sangaji Loloda dan juga ada kedudukan Jogugu Loloda. Sangaji Loloda ditempatkan oleh Residen Maluku Utara saat itu yang juga selaku Sultan Ternate untuk menjalankan Pemerintahan Distrik. Sedangkan Jogugu Loloda dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate sebagai Pewaris dan Pengemban Kerajaan Loloda. Adapun Jogugu Loloda pada masa itu adalah Kaicil atau Jongofa Djami Bin Syamsuddin, putera kedua Kolano Syamsuddin (Raja Loloda terakhir).
Dalam kedudukannya sebagai Jogugu Loloda yang dikukuhkan oleh Kesultanan Ternate, keberadaannya dalam masyarakat Loloda, ia diangap sebagai Kolano. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarkat Loloda yang mengangap seorang Jongofa (Putera Mahkota) adalah pewaris Tahta Kolano sebagaimana yang melekat pada Jongofa Hi. Djami Bin Syamsuddin. Oleh masyarakat Loloda ketika itu, ia mendapat penghormatan sebagaimana layaknya seorang Kolano. Ia tidak disebut sebagai Jogugu melainkan Jou Kolano. Realitas ini menunjukkan bahwa ketika Kerajaan Loloda disetarakan setingkat Distrik oleh Belanda dan Kesultanan Ternate pada abad ke-18, Penguasa Loloda tidak pernah menyandang gelar Kepala Distrik atau sangaji tetapi seantiasa menggunakan titel Kolano Loloda.
Ketika menjalankan fungsi dan perannya sebagai Jogugu yang juga diangap sebagai Kolano Loloda saat itu, ia dibantu oleh beberapa perangkat Bobato seperti kapita Lau yang disandang oleh Jongofa Syahjuan (Putera Kapita Lau Majojo, Nasu), Johukum Soa-sio yang disandang oleh Jongofa Nanggu (Putera sulung Kolano Syamsuddin) dan Imam Loloda, Umar Bin Malan. Sementara adiknya, Djama hanya memakai titel Jongofa (Putera bungsu Kolano Syamsuddin). Perangkat-perangkat Bobato ini memiliki kesamaan pada abad ke-18. Hal ini bisa dilihat dari uraian Surat Gezaghebber Ternate tertangal 8 September 1808 sebagaimana disebutkan di atas.
Meskipun fungsi Jogugu yang juga dianggap sebagai Kolano di atas terbatas pada masalah-masalah Pemerintahan, akan tetapi status sosialnya sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Bahkan pengaruhnya lebih mendominasi peran Sangaji Loloda saat itu. Akan tetapi ketika ia wafat, maka kedudukan Jogugu atau Kolano Loloda ini pun praktis vakum. Tiga puteranya, masing-masing Jongofa Abd. Malik, Jongofa Maulud dan Jongofa Haibu pun tidak dapat mengambil fungsi dan peran Jogugu/Kolano Loloda di atas. Hal ini karena tidak ada inisiatif baik dari masyarakat Loloda maupun Kesultanan Ternate. Jogugu/Kolano Loloda ini wafat pada tahun 1977 di Ternate, tanah asal Ibunya dan dimakamkan dipekuburan keluarga Klan Jiko Ternate. Ibunya Joboki Habiba berasal dari Soa Moti Kasturian Kesultanan Ternate.
D. Status Kerajaan Loloda setelah Reformasi 1998
Sebagaiman telah dikemukakan sebelumnya bahwa setelah kemerekaan Indonesia, status dan struktur Kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda ini kemudian mengalami reduksi dari kepemimpinan Raja/Kolano menjadi setingkat Jogugu. Kondisi ini terjadi karena pengaruh Kesultanan Ternate yang mendominasi system politik local ketika itu. Jogugu Kerajaan Moloku Loloda tersebut diangkat oleh Kesultanan Ternate dari Putera Mahkota Kolano Loloda, Kaicil Hi. Djamilullah Bin Syamsuddin. Gelar Jogugu bisa disamakan dengan Mangkubumi. Dalam meniatur Negara, Jogugu atau Mangkubumi disamakan dengan Jabatan Perdana Menteri. Dengan demikian, bisa diungkapkan bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Jogugu Loloda memegang peranan utama dalam kepemimpinan Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda. Dalam menjalankan fungsinya, Jogugu Kerajaan Moloku Loloda didampingi oleh perangkat utamanya seperti Kapita Lau, Hukum Soa-sio, Tuli Lamo dan Sowohi. Kapita Lau dapat disamakan dengan Panglima Armada Laut. Hukum Soa-sio adalah Menteri Urusan Dalam Negeri, Tuli Lamo sebagai Sekretaris dan Sowohi berfungsi sebagai Humas dan Protokoler.
Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan kepemimpinan Jogugu ini senantiasa eksis dizamannya hingga Jogugu tersebut wafat pada tahun 1977. Sejak saat itu Lembaga ini mulai vakum selama 31 tahun, dan baru pada tahun 1999 dibangkitkan kembali atas insiatif Kesultanan Ternate dengan mengangkat Kaicil (Pangeran) Bayan A. Syamsuddin sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda beserta perangkat Bobatonya. Akan tetapi pada tahun 2004 lalu, Jogugu Bayan A. Syamsuddin ini pun tutup usia, dan kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan perangkat Bobato seperti Kapita Lau dan Hukum Soasio terkesan berjalan ditempat karena pengaruh usia yang telah lanjut.
Untuk mengisi kekosongan kedudukan Jogugu Kerajaan Moloku tersebut, maka sesuai Adat Se-Atorang (hukum adat Loloda), telah dinobatkan Kaicil (Pangeran) Lutfi M. Syamsuddin. A.Ptnh sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda. Penobatannya dilaksanakan dalam suatu Upacara Kebesaran Adat Loloda pada tanggal 30 Oktober 2008 di Keraton Kesultann Ternate.
Status dan keberadaan Jogugu Loloda bersama Bobatonya di atas pada prinsipnya memiliki ciri yang tidak berbedah jauh pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan Tau raha (Komisi 4) pada Kesultanan-kesultanan di atas sebagai berikut :
KesultananTernate:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Hukum Soa-sio
4. Hukum Sangaji
Kesultanan Tidore:
1 .Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Kie
4. Hukum Soa-sio
Kesultanan Bacan:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Qadhie
4. Kapita Ngoga
Kesultanan Jailolo:
1. Jogugu
2. Tuli Lamo
3. Kapita Lau
4. Qadhie
Sumber : Mudafar Sjah, 2005.
Berdasarkan kedudukan Tau Raha pada masing-masing Kesultanan di atas, maka di Loloda juga terdapat kedudukan Tau Raha (Komisi Ngaruga) yakni ; Kapita Kie. Hukum Soasio, Hukum Bakun Malamo dan Sowohi. Jogugu tidak masuk dalam Tau Raha, karena Jogugu meaksanakan fungsi Kolano Loloda. Dengan demikian, maka Jogugu Loloda adalah Pewaris sekaligus Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda adalah merupakan suatu keniscayaan sejarah.
E. Penutup
Meskipun memiliki akses yang terbatas dalam kanca politik lokal, realitas sejarah juga telah menunjukkan bahwa kerajaan Loloda senantiasa eksis pada zamannya, dan cukup memberikan perkembangan khas tersendiri dalam pembentukan masyarakat dan budayanya. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari penegasan identitas lokal masyarakat Adat Loloda.
Masyarakat Adat Loloda adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia yang hidup berdasarkan asal-usul leluhurnya secara turun-temurun dalam suatu wilayah adat, dimana kehidupan sosial budayanya tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan lembaga adat. Adapun lembaga adatnya di-integrasikan kedalam satuan pemerintahan kerajaan. Kenyataan ini berlangsung hingga saat ini, dimana Kepemimpinan (Dada Madopo) Kerajaan dipegang oleh Jogugu sebagai Pewaris dan Pengemban Kolano Kerajaan Moloku Loloda.

Seorang Jesaya yang Kembali Mengangkat Nilai Budaya Tobelo

oleh: Fanny Kristiadhi - Maluku Utara
Sanggar Dabiloha

Foto Selengkapnya

Budaya merupakan hal yang tidak pernah lepas dari daerah propinsi maluku utara, daerah disini merupakan daerah yang benar-benar menghargai budaya dan tidak pernah lepas dengan budaya. salah satunya daerah tobelo kabupaten halmahera utara, salah satu kota kabupaten di maluku utara.

Awal mula disini budaya hanya dipandang sebelah mata, hanya 1 orang yang benar  benar masih menghargai budaya, masih mempunyai idealis untuk menjunjung tinggi budaya tobelo, dia adalah Yesaya banari. dia kini jadi budayawan terkenal di tobelo.

Awal mula sekitar abad 16,agama masuk ke daerah tobelo melalui jalur perdagangan laut dari bangsa arab dan bangsa portugis,melalui portugis juga selain masuk ke daerah halmahera utara selain memburuh rempah-rempah, cegkeh dan pala juga menjalankan misi agama kristen katolik setelah itu belanda juga selain berburu rempah-rempah juga dengan misi penyebaran agama kristen prostestan dan setelah itu agama islam melalui bangsa arab masuk melalui jalur perdagangan laut, yang disebut jalur sutera. masuknya agama di halmahera utara kususnya kota tobelo ini sedikit memberikan pengaruh negatif, pemahaman orang  yang baru memeluk agama sedikit menghilangkan budaya di tobelo, hal ini dikarenakan pemahaman mengenai agama masih kurang mendalam, hal ini tergambar ketika mereka saling memisahkan agama menjadi golongan yang berlainan antar kepercayaan namun hanya sedikit saja yang mempunyai pemahaman seperti ini.
tapi dengan pemahaman yang lebih mendalam maka budaya inilah yang kini menjadi pemersatu, budaya tidak mengenal perbedaan agama, dan budaya pula yg memberikan pemahaman orang-orang kini telah menjadi dewasa.

Yesaya benar-benar memulai karirnya dari 0, selain dengan idealisme dia yang tinggi dia juga memulai karirnya dengan membaca buku-buku mengenai daerah tobelo, dan sejarah-sejarah daerah maluku utara.

Pada tahun 2000 tobelo telah membuat gerakan kebudayaan sebagai modal sosial untuk mempersatukan kembali tali persaudaraan mereka yang sebelumnya telah ada namun belum terpublikasikan, hal ini terbukti dengan adanya rumah adat hibualamo, rumah adat ini berada di tengah kota tobelo rumah adat ini digunakan suku tobelo sebagai tempat berkumpul bersama, saling berbagi cerita dan sebagainya. selain itu juga bapak yesaya banari telah membuat gerakan kebudayaan dengan membuat kediamannya yang berada di tanjung pilawang rumah dengan konstruksi bangunannya persis rumah asli suku tobelo terdahulu dan diberi nama dabiloha yang artinya indah/bagus. selain itu bapak yesaya juga membina anak-anak di rumah dabiloha sebanyak 80 orang, anak-anak tersebut bukan hanya suku tobelo namun ada beberapa suku campuran lainnya misalnya jawa, bugis yang senang dengan suku tobelo dan mencintai adat tobelo.

Pak Yesaya mengumpulkan orang-orang pencinta budaya tersebut dalam sanggar yang dibuatnya, "gomi goraci" namanya, yang  berarti tali emas, sanggar ini dijadikan sebagai tempat latihan, tempat mencari ilmu mengenai kebudayaaan. Banyak prestasi yang sudah didapat, baik tingkat nasional ataupun daerah, di daerah, budaya tobelo menjadi juara umum pada prestasi tingkat provinsi, untuk tari daerah, musik daerah, seni dan budaya. Pada tingkat nasional pertama tahun 1999 menjadi juara pada kejuaraan nasional, pada tahun 2009 tampil di pasar seni di belanda, dan pada tahunn 2009 budaya tobelo ini melakukan pemecaham MURI 3000 penari dan musik yangere dan tarian cakalele.

Budaya yang terus dilestarikan oleh sanggar ini dengan masyarakat pencinta budaya lainnya adalah seperti pesta gomatere yaitu pesta setelah panen, O hoya tarian cakalele, kabata talaga lina yaitu upacara adat pengambilan ikan yang naik di laut, dan tokuwela yaitu tari semangat kebersamaan dengan penari saling berpegangan tangan dan orang naik diatasnya, ini menggambarkan kebersamaan orang-orang tobelo.

ya ini lah kisah dari seorang yesaya dengan dabilohanya yang berhasil membangkitkan kembali budaya adat tobelo sehingga sekarang adat tobelo, menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakatnya.

Sumber : Aku Cinta Indonesia

Sekilas Sejarah La Kilaponto-Murhum-Haluoleo

Lelaki pemersatu jazirah dan kepulauan di tenggara sulawesi itu adalah Raja Buton ke-6, Sultan Buton I, bergelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Di Muna dia dikenal sebagai Lakilaponto. Konon pula di daratan Konawe dia adalah lelaki bergelar La Tolaki-Haluoleo. Setelah wafat, dia lebih dikenal dengan gelarnya sebagai Murhum: Sultan Murhum.
Selama hampir setengah abad, lebih kurang 46 tahun, dia berhasil mempersatukan jazirah tenggara sulawesi dan kepulauan sekitarnya dalam sebuah nation yang disebut Kesultanan Buton. Kedaulatannya terbentang mulai dari Selayar di Barat hingga Luwuk Banggai di Timur. Kedaulatan Kesultanan Buton tersebut yang bercorak sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam pada masa itu dikenal dan diakui oleh negara kesultanan yang lain di nusantara. Bahkan di jaringan kekhalifahan kesultanan dunia. Ketika itu Khilafah Islamiah di Turki-Istambul (Kesultanan Otsmaniah) sebagai pusat pemerintahan Islam mengakui kedaulatan Kesultanan Buton sebagai nation yang berdaulat, menjalankan secara penuh syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Oleh Khalifah Otsmaniah, Sultan Buton dianugerahi gelar Khalifatul Khamis—sebuah gelar yang umum digunakan oleh para sultan dalam jaringan kekhalifahan Otsmaniah.
Siapakah gerangan lelaki itu? Begitu melegendanya dia. Dalam sejarah Buton-Muna, dia adalah anak dari Sugimanuru, Raja Muna ke-3. Ibundanya bernama Watubapala, cucu dari Raja Buton ke-3 bergelar Batara Guru. Jadi La Kilaponto adalah cicit dari Batara Guru.
Syahdan, ketika masih remaja, suatu pagi dia duduk bersimpuh di hadapan ayahandanya. Diceritakannya tentang mimpinya semalam yang menggundahkan hatinya. Ia melihat dirinya dalam penampakan yang besar sekali. Dalam posisi berjongkok kedua lututnya bertumpu, berlutut di Buton. Muna di bawahnya. Dan kedua tangannya menjangkau daratan Konawe dan Moronene. Mendengar penuturan puteranya itu raja Sugimanuru tertegun. Sejurus kemudian ia berkata: “Daerah-daerah itu adalah negeri-negeri leluhurmu…”.
Tatkala beranjak remaja, oleh ayahandanya, Sugimanuru, dia dikirim untuk belajar adat, ilmu keksatriaan dan ketatanegaraan di Kerajaan Buton. Ketika itu kerajaan Buton adalah sebuah kerajaan yang telah memiliki sistem dan pranata ketatanegaraan yang lengkap pada masanya. Kelengkapan sistem pranata ketatanegaraan tersebut adalah sebagai konsekuensi kerajaan yang berada dalam jaringan kerajaan nusantara di tanah Jawa: Kerajaan Majapahit. Bagaimana tingkat peradaban kerajaan Buton kala itu? Naskah purbakala bertarikh sekitar tahun 1365 M, Kitab (Kakawin) Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dalam pupuh LXXVII mendeskripsikan kerajaan Buton sebagai berikut: “Buton adalah daerah keresian, dijumpai lingga, di dalamnya (kerajaan) terbentang taman, terdapat saluran air (drainase) dan rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru...”. Tua Rade alias Tuan Raden, Raja Buton ke-4, putra Raja Manguntu (Batara Guru, Raja Buton ke-3) ketika pulang berkunjung dari negeri leluhurnya di Majapahit, dihadiahkan oleh Raja Majapahit sejumlah perlengkapan adat, bendera perang, sejumlah peralatan kesenian terbuat dari kuningan dan ilmu ketatanegaraan yang diterapkan layaknya di Majapahit. Tuan Raden dikenal juga dengan gelarnya: Sangia Sara Jawa.
Demikianlah, La Kilaponto kecil ditempa di Belo Baruga (semacam lembaga kaderisasi kepemimpinan) dalam lingkungan kerajaan Buton. Tatkala itu Raja Buton ke-6 Rajamulae bergelar Sangia yi Gola (yang manis bagai gula), yang juga adalah pamannya, diam-diam mengawasi kemanakannya yang memiliki potensi bakat tersebut.
Kelak setelah beranjak dewasa La Kilaponto dalam riwayat hidupnya banyak menorehkan warna. Tatkala diutus ke daratan Sulawesi guna mememadamkan ekspansi kerajaan Mekongga terhadap kerajaan Konawe dia sempat menikah di sana. Pernikahannya dengan putri kerajaan Konawe membuahkan tiga orang putri: Wa Konawe, Wa Poasia dan Wa Lepo-Lepo. Disini pula La Kilaponto yang atas jasanya memadamkan ekspansi kerajaan Mekongga maka dia dikukuhkan oleh sara mokole Konawe sebagai raja Konawe. La Tolaki-Haluoleo, demikian gelar yang diabadikan tatkala selama delapan hari delapan malam sara Konawe berunding, bermusyawarah membulatkan suara guna mengukuhkannya sebagai raja Konawe. Ketika La Kilaponto hendak kembali ke Muna-Buton menemui ayahandanya dan pamannya—dalam perjalanan dari Konawe melalui Tinanggea, tanpa sengaja dia bertemu wanita yang sangat memikat hatinya dan akhirnya dinikahinya pula. Belakangan, di kemudian hari wanita tersebut diketahui ternyata adalah saudara tirinya (bernama Wa Pogo alias Wa Karamaguna). Kejadian ini membuat murka ayahandanya, Raja Muna. Dia kemudian diusir, diharamkan menginjakkan kakinya di bumi Muna maupun Buton.
Betapa malangnya lelaki itu. Namun disatu sisi betapa beruntungnya dia. Oleh ayahandanya Sugimanuru maupun pamannya Sangia yi Gola, Raja Buton, dia diperbolehkan menuju ke Selayar selama pengasingannya. Selayar adalah negeri leluhurnya juga. Di Selayar bibinya yang bernama Wa Maligano (putri Raja Muna ke-2 Sugilaende) adalah permaisuri dari penguasa, Opu Selayar bergelar La Pati Daeng Masoro. Adapun adiknya yang telah dinikahinya diasingkan di pulau Kadatua. Begitu besarnya perhatian dan kasih sayang Sangia yi Gola terhadap para kemanakannya, La Kilaponto dan Wa Karamaguna. Dan mengingat pengabdian La Kilaponto selama belajar di Buton, Sangia yi Gola mengutus beberapa pengawal dan dayang-dayang mendampingi dan mengurus segala kebutuhan kemanakannya, Wa Karamaguna. Di pulau ini dibangun sebuah istana kecil dan benteng oleh para pengikut Wa Karamaguna, dikenal sebagai benteng Kadatua.
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs benteng peninggalan Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Foto: La Ode Marzuki S.Ip
Situs makam Wa Pogo/Wa Karamaguna di pulau Kadatua
Betapa malangnya La Kilaponto. Namun betapa beruntungnya juga dia. Kelak peristiwa pengusiran dan pengasingannya itu akan menempanya menjadi manusia yang lebih matang dalam mengarungi kehidupannya. Peristiwa itu akan menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya. Selama di Selayar dia bersahabat dengan tokoh dan ksatria di sana, seperti Manjawari yang adalah sepupunya sendiri (putra La Pati Daeng Masoro) dan Batumbu (putera Raja Wajo). Batumbu juga adalah penguasa dari daerah Poleang dan Moronene.
Seperti umumnya perairan di nusantara, laut Flores di Selayar sering terganggu oleh gangguan lanun laut. Lanun, perompak bajak laut tersebut dikenal sebagai bajak laut Tobelo, sebagian terdiri dari orang-orang Portugis yang menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan (baca: Sureq Ilagaligo, Dr Van Kern). Ketika itu La Kilaponto bersama sepupunya (Manjawari) dan sahabatnya (Batumbu), memimpin perlawanan terhadap lanun laut tersebut. Kejar mengejar dan pertempuran bahkan seringkali terjadi sampai ke laut lepas dan terdampar sampai di pulau Marege (Aborigin-Australia).
Lanun Tobelo beroperasi hampir di seluruh laut nusantara wilayah timur, termasuk di perairan Buton yang memiliki armada pengangkut rempah-rempah dan pelabuhan transit kapal-kapal pengangkut rempah-rempah ke wilayah timur maupun barat. Aktivitas lanun Tobelo membuat galau Rajamulae. Lanun Tobelo telah sangat mengganggu keamanan dan ekonomi bukan hanya kerajaan Buton tetapi juga kerajaan lain sekitarnya. Sebagai raja dari sebuah kerajaan yang besar di masanya, Rajamulae merasa bertanggung jawab terhadap keamanan dan ekonomi di selat Buton dan perairan kerajaan lain di sekitarnya. Maka Rajamulae mengambil inisiatif menghimpun dan menyatukan semua kekuatan yang ada. Dibuatnya pula sayembara: barang siapa yang berhasil menaklukkan lanun Tobelo berikut pemimpinnya yang dikenal bernama La Bolontio maka akan dinikahkan dengan putri raja. Dalam Sureq I Lagaligo oleh orang Bugis-Makassar nama La Bolontio disebutkan sebagai La Bolong Tiong, artinya si hitam pekat.
Demikianlah sejumlah ksatria dari berbagai negeri turut serta dalam persekutuan tersebut guna menumpas lanun yang telah mengganggu perairan di kerajaan-kerajaan di seputar jazirah tenggara sulawesi itu. Tentu saja juga berarti ikut dalam sayembara tersebut. Rajamulae juga teringat akan kemanakannya, La Kilaponto yang masih dalam pengasingannya di Selayar. Maka dipanggillah kemanakannya itu. Sebelum menemui pamannya, Rajamulae, terlebih dahulu La Kilaponto menemui ayahandanya, Sugimanuru, guna memohon restu dan dimaafkan segala khilaf yang telah diperbuatnya. Oleh Sugimanuru kekhilafan putranya tersebut dimaafkan dan diizinkan menemui pamannya, menumpas lanun laut yang telah mengganggu kerajaan Buton, Muna dan kerajaan sekitarnya. “Berangkatlah ke Buton, bantulah pamanmu dan perbaikilah keturunanmu di sana…” demikian Sugimanuru berpesan pada putranya.
Bersama dengan sepupu dan sahabatnya, Manjawari dan Batumbu, maka berangkatlah La Kilaponto bersama sejumlah pasukan yang telah disiapkan oleh Raja Mulae untuk menumpas lanun Tobelo tersebut. La Bolong Tiong konon adalah lanun yang sakti, berbadan tinggi, kekar dan bermata satu (atau salah satu matanya rusak/buta). Demikianlah satu persatu, ketiga ksatria tersebut bertarung melawan La Bolontio. Dengan strategi bertarung yang sederhana, La Bolontio dapat ditaklukkan oleh La Kilaponto. La Bolontio takluk, kepala dan kemaluannya dipenggal. Seluruh lanun laut itu pun takluk oleh ketiga ksatria tersebut.

Foto: La Ode Marzuki, S.Ip
Tengkorak kepala La Bolontio
(perhatikan lubang tempat mata yang tampak hanya satu)
Dalam Buku Tembaga (Assajaru Huliqa Darul Bathniy wa Darul Munajat) dituliskan atas kemenangan pasukan gabungan dan ketiga ksatria tersebut yang dibawah naungan kerajaan Buton, Sangia yi Gola berpantun:
La Baabaate pekapanda karomu, Lakapolukaapeelomo lungona” (wahai kupu-kupu besar, rendahkanlah dirimu, Lakapoluka telah meminta isinya). Lakapoluka adalah nama suatu tempat di Boneatiro di teluk Kapontori. Disanalah La Bolontio dikuburkan. Lungo adalah mayat yang disimpan dalam peti sebelum dikuburkan.
Kawolena Wajo, pindana paepaeya” (ikan kering --yang dibelah-- oleh Wajo, pindangnya ikan paepaeya). Maksud pantun itu adalah memberi gambaran bagaimana Batumbu mengamuk membelah-belah tubuh pasukan La Bolontio. Pindangnya ikan paepaeya adalah alat vital La Bolontio yang telah dipenggal dan ditaruh dalam periuk tanah untuk diperlihatkan kepada Sangia yi Gola.
Semasa Rajamulae (bergelar Rajamulae karena yang memulai syiar Islam) pada tahun 1511 datanglah seorang ulama kharismatik dari Arab bernama Sayid Abdul Wahid. Ulama kharismatik ini berhasil mengislamkan Sangia yi Gola dan kerabat kerajaan lainnya. Di kalangan masyarakat Buton Sangia yi Gola dikenal juga dengan nama muslimnya: Umar Idgham. Dipeluknya Islam oleh Raja dan kerabat kerajaan berpengaruh besar dalam kehidupan ketatanegaraan dari sistem kerajaan Buton menjadi Kesultanan. Namun sebelum ketatanegaraan itu resmi, legal dibentuk, Sayid Abdul Wahid menyampaikan bahwa pembentukan sistem kesultanan harus dikordinasikan, dilegalisir, disyahkan atas restu Khilafah Islamiah di Istanbul-Turki yaitu pada Mufti Makkah dan Sultan Otsmaniah. Maka diutuslah Sayid Abdul Wahid ke Istanbul guna mendapatkan legalitas kerajaan menjadi kesultanan.
Setelah Sangia yi Gola, Umar Idgham uzur dan wafat, akhirnya La Kilaponto termasuk dipertimbangkan sebagai kandidat raja menggantikan pamannya sekaligus ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Melalui pertimbangan yang matang dan musyawarah oleh Patalimbona (empat pemimpin sebagai dewan wakil Rakyat) Lakilaponto ditetapkan menggantikan pamannya, ayah mertuanya sebagai Raja Buton ke-6. Di Buton La Kilaponto dikenal juga dengan gelarnya Timbang-Timbangan.
Sayid Abdul Wahid melakukan perjalanan ke Turki selama kurang lebih 15 tahun. Ketika beliau kembali ke Buton, yang menjabat sebagai Raja adalah La Kilaponto. Sesuai dengan amanat Sangia yi Gola alias Umar Idgham maka Sayid Abdul Wahid melantik secara resmi Raja Buton ke-6 La Kilaponto sebagai Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatul Khamis. Gelar Khalifatul Khamis (Khalifah ke-5) maksudnya adalah sebagai pelanjut Khalifah yang ke-4 (Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Gelar Khalifatul Khamis umum dipakai oleh para sultan yang berada dalam jaringan kekhalifahan Islamiah.
Versi lain mengatakan bahwa nanti pada tahun 948 H (1538 M) bertepatan hari Jumat datanglah utusan dari Khilafah Islamiah (Istambul-Turki) bernama Abdullah Waliullah dan utusan syarif Makkah (Masjidil Haram) bernama Syarif Ahmad maka La Kilaponto dilantik resmi menjadi Sultan Buton I.
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum dengan dibantu oleh Sayid Abdul Wahid dan Syarif Muhammad (Saidi Raba), falsafah kerajaan Buton yang telah ada pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan Patamiana (Patalimbona) dan Raja Buton ke-1 Wa Kaa Kaa yaitu falsafah Sara Budiman (Bhinci-Bhinciki Kuli) kembali dielaborasi dan dikembangkan. Pada saat itu Kesultanan Buton juga tengah menghadapi sejumlah ekspansi dari kerajaan lain seperti kerajaan Gowa dan Ternate. Falsafah yang dielaborasi dari Sara Budiman dengan mengakulturasikan ajaran Islam adalah falsafah jihad Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu yang kemudian menjadi Bolimo Karo Somanamo Lipu. Kedua falsafah Kesultanan Buton tersebut (Syara Budiman dan Bolimo Karo Somonamo Lipu) selanjutnya oleh Sultan Buton ke-4 Sultan Dayanu Ikhsanuddin bersama ulama Saidi Raba pada tahun 1610 M dielaborasi kembali bersama ajaran Wahdatul Wujud menjadi UUD Kesultanan Buton yaitu Murtabat Tujuh dan penjelasannya dalam UU (Istiadatul Azali). Dengan berkembangnya Islam di Kesultanan Buton maka kerajaan-kerajaan lain sekitarnya turut pula diIslamkan termasuk kerajaan Muna dan kerajaan Konawe. Syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton setelah ulama kharismatik Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba dilanjutkan oleh para ulama Buton yang digembleng dalam lingkungan keraton Kesultanan Buton. Tugas ini diemban dan diamanatkan kepada para ulama di Buton-- disebut sebagai Lebe (pengemban syiar Islam). Di Kerajaan Konawe agama Islam disyiarkan oleh cucu dari La Ngkariri (Sultan Buton ke-19, Oputa Sangia) bernama La Teke (masyarakat Konawe kemudian menyebutnya sebagai guru, Laode Teke).
Satu hal yang menarik bahwa berkembangnya ajaran Islam dijazirah tenggara sulawesi adalah berkat syiar Islam yang dilakukan oleh Kesultanan Buton dengan mengirimkan para ulamanya sebagai kontinuitas syiar Islam yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yaitu Sayid Abdul Wahid dan Saidi Raba. Syiar Islam di jazirah tenggara sulawesi ini adalah perjuangan antara ulama dan umara mulai dari Sayid Abdul Wahid, Rajamulae (Umar Idgham), La Kilaponto (Muhammad Isa Kaimuddin), Saidi Raba (Syarif Muhammad), La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin), La Ngkariri (Saqiyuddin Darul Alam).


Sultan Muhammad Isa Kaimuddin memerintah selama 26 tahun sebagai sultan dan sebelumnya selama 20 tahun memerintah sebagai raja. Pada tahun 1564 M, Sultan Muhammad Isa Kaimuddin wafat. Tatkala itu usianya mencapai 86 tahun. Beliau dimakamkan di dalam kawasan Benteng Keraton Kesultanan Buton yang berhadapan dengan Masjid Agung Keraton Buton. Setelah wafat beliau lebih dikenal dengan gelarnya: Sultan Murhum. Pada dinding makam bagian depan yang bercat putih tertulis relief aksara buri Wolio (huruf Arab-Wolio): Makam Sulthan Murhum.
Sumber : http://adf.ly/Fkc9

Suku Tobaru

MENDALI KAPITA TOBARU
Gambar yang dicantumkan di jilid depan dan belakang buku ini adalah gambar medali yang dimiliki satu keluarga orang Tabaru. Rupanya, Sultan Ternate memberikan medali ini kepada nenek moyang keluarga itu, kepada Hadi yang menjadi Kapitan Perang pada masa penjajahan Belanda. Medali ini disebut "Nederlands Koninklijk Wapen" yang merupakan "Lambang Kerajaan Belanda." Medali seperti ini diberikan hanya kepada orang yang paling berani dan jago berperang. Di depan medali ini, selain gambar beberapa singa dan mahkota adalah tulisan dalam bahasa Prancis, yaitu: JE MAINTIENDRAI, yang berarti "AKU AKAN BERTAHAN". Di belakang medali ini ada tulisan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab. Bahasa Belandanya adalah: Aan Hadie Kapitein van Tobaroe Ternaatsch Halmaheira ter belooning van zijne aan het Nederlansch Indisch Goüvernement bewezene goedediensten by de Ceramsche Expeditie in 1858. Terjemahan bahasa Belandanya adalah: Kepada Hadie Kapitan Tobaru dari Ternate, Halamahera, sebagai anugerah atas jasa baik yang diberikannya kepada Pemerintah Hindia Belanda dalam Ekspedisi Seram pada tahun 1858. Bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab dapat ditulis dengan huruf bahasa Indonesia sebagai berikut: Kepada Hadi, Kapita Tabaru, wilayah Halmahera, akan menjadi pembela dan pekerjaannya yang baik kepada Gubernemen Hindi Nederland ketika perang Seram pada tahun 1858. Ukuran medali perak ini adalah: Diameternya: 5.6 centimeter. Ketebalannya: 4 milimeter.

Rabu, 30 Mei 2012

Di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimbah bersama sultannya yang legendaries itu.

Selain itu menurut Resley, kata “Alifuru” yang merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal dari bahasa Arab (Alif), Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XIV, sudah ada bangsa yang mendiami kepulauan Maluku yang penyebarannya dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”. Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) dan Halmahera yang memiliki budaya atau system pemerintahan “ALLUF” yaitu: kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku.  Alluf dalam pengertian Ibrani adalah: Panglima, pemimpin 
Dalam perjalan sejarah Maluku Utara, tidak terlepas juga dengan orang alifuru, yang mana mereka direkrut oleh Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore) untuk melawan kaum penjajah  yang pernah mendiami Maluku Utara. Namun tidak banyak penulis yang bijak untuk mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi.
Tahun 1570 Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.  Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya beliau menemukan bangkai kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter). Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Kora-kora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi. 
Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Alifuru yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Sultan Nuku. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prins Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa. Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.


Sumber : http://ivnemh.blogspot.com/2012/04/suku-terasing-di-halmahera-maluku-utara.html

CANGA : Our Ancestors Are Sea-Pirates

Hingga abad ke-19, Asia Tenggara merupakan pusat perdagangan dunia selain Fenesia. Dan sejarahwan mencatat, bahwa siapapun yang menguasai selat Malaka, dia mencengkeram Fenesia. Maraknya perdagangan memunculkan kelompok-kelompok perompak yang berperan sebagai sebuah sub-sistem dari kegiatan perdagangan.
Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku.Membahas perompakan  di kepulauan Nusantara berarti berbicara tentang bajak laut Mangindanao, Dayak Laut dan Tobelo. Kelompok-kelompok bajak laut tersebut menjadikan kepulauan Nusantara sebagai episentrum pembajakan dunia di abad ke-19.

Bajak laut Mangindanao berasal dari Philipina bagian selatan dan terdiri dari orang-orang Iranun (Lanun), Sulu, Balangingi (Samal) dan Tausog (juga sering dilafalkan Toasug). Tapi yang paling terkenal dari kelompok ini adalah Iranun atau Lanun. Orang Iranun berasal dari danau Ranao di pulau Mindanao, yang karena letusan gunung berapi kemudian bermigrasi ke kepulauan Sulu. Mereka adalah kelompok bajak laut yang memiliki sejarah yang panjang. Keberhasilan mereka dalam pembajakan di laut antara lain dikarenakan mereka adalah kelompok yang terorganisasi secara baik dan memiliki sponsorship yang kuat dari para datu Tausog. Orang-orang kaya Tausog menyediakan persenjataan dan perahu, kemudian menampung budak hasil tangkapan untuk kemudian dipasarkan di Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Wilayah operasi bajak laut Mangindanao mencakup Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Malaya, Siam dan para sejarahwan meyakini mereka juga beraksi sampai ke teluk Benggala.

 Dayak Laut adalah nama yang diberikan oleh orang barat kepada kelompok penjelajah sungai dari Sarawak. Di kalangan orang Dayak, mereka disebut Orang Iban. Walaupun disebut Dayak Laut, mereka sebenarnya tidak memiliki tradisi maritim dan keterlibatan mereka dalam perompakan adalah karena kerja sama dengan bajak laut Mangindanao.

Orang Tobelo adalah penduduk rimba Halmahera disekitar Danau Lina yang kemudian berpindah ke pantai timur Halmahera Utara setelah lenyapnya orang Moro dari daerah tersebut. Sedangkan sebutan “bajak laut Tobelo” sebenarnya mengacu pada kelompok perompak Tobelo dan Galela. Keterlibatan orang Tobelo dan Galela dalam pembajakan di laut  bisa ditelusuri hingga akhir abad ke-18. Ketika pangeran Nuku dari Tidore mencetuskan pemberontakan, ia berhasil mempersatukan berbagai kekuatan maritim di bagian timur Indonesia, antara lain orang Maba, Patani, Weda, Gebe, Raja Ampat, Biak dan orang-orang Tobelo-Galela yang bermukim di wilayah kesultanan Tidore. Untuk membiayai pemberontakan, mereka melakukan pembajakan dan penangkapan budak serta menyerang kapal dagang dan berbagai kepentingan Ternate dan Belanda di berbagai tempat. Kelompok ini dalam catatan Belanda disebut “Papua Zeerover”, bajak laut Papua. Aktifitas kelompok ini mencakup daerah Ambon, Buru, Seram, kepulauan Aru-Kei, Tanimbar, Sula, Banggai dan Sulawesi Utara.

Untuk mengatasi kelompok bajak laut tersebut, Belanda dan Ternate mengirim sejumlah ekspedisi. Tahun 1780 Belanda mengirim ekspedisi langsung ke jantung para bajak laut. Tim ekspedisi ini terdiri dari 59 tentara Eropa, 22 orang Makassar, 57 orang Bali di bawah pimpinan Captain Heinrich dan penerjemah van Dijk serta kurang lebih 3.000 orang Tobelo dan Galela di bawah pimpinan Letnan Maffa Mira.

Tanggal 20 November 1780, negeri Wossi dan Maba diserang dan berhasil dihancurkan keesokan harinya. Serangan ke Patani tanggal 17 Desember gagal sebab orang-orang Tobelo dan Galela menolak untuk menyerang karena persoalan penjatahan makanan. Pertempuran secara sporadis terus berlangsung di laut, dan tanggal 26 April Patani diserang dan dibakar. Pangeran Nuku dan pengikutnya melarikan diri ke Papua. Selama beberapa tahun orang-orang Tobelo dan Makeang dilibatkan dalam pasukan gabungan Ternate dan Belanda untuk memburu Nuku dan pengikutnya.

Pukulan berat terhadap para bajak laut menyebabkan banyak dari mereka yang menyerah dan mengalihkan kesetiaanya kepada Belanda dan Ternate. Masa tersebut merupakan masa yang paling berat dari perjuangan Nuku. Tapi tahun 1792 merupakan titik balik bagi Nuku setelah ia berhasil membentuk aliansi dengan orang Tobelo, Galela dan Tobaru. Bergabungnya orang-orang Tobelo, Galela dan Tobaru dalam barisan Nuku berhasil mengembalikan motivasi dari mantan pengikut Nuku yang sudah memihak Ternate dan Belanda untuk kembali berjuang di pihak Nuku.

Awal mula keterlibatan orang Tobelo dalam pembajakan digambarkan sebagai berikut :

“Delapan kampung orang Tobelo terletak di pedalaman di tepi sebuah danau. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang “kejam dan mematikan”, dan hanya orang-orang Galela dan Tobaru yang berani mengunjungi mereka. Mereka digambarkan memiliki banyak sekali emas dan perak – beberapa dari mereka menggunakan tiga, empat bahkan lima gelang emas atau perak sekaligus. Sumber Belanda mengungkapkan bahwa Sultan Sibori Amsterdam pernah membujuk 600 pejuang Tobelo dengan banyak emas dan perak untuk ikut serta dalam perang melawan VOC pada tahun 1779-1781.

Orang-orang Gamrange (Maba dan Patani), orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Tidore berperan dalam pembentukan aliansi dengan Tobelo. Aliansi ini dilaporkan terjadi pada tahun 1792. Alferis Hassan dari Tidore melaporkan bahwa sebuah paduakang (jenis kapal) telah merapat di Morotai dengan membawa lima orang Seram Timur serta beberapa orang Maba dan Patani dan mereka telah melakukan upacara tukar-menukar hadiah dengan delapan penduduk Tobelo-tai dan Kao. Orang-orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Gamrange menghadiahkan dua ekor merpati, sebuah pedang dan tombak kepada anak perempuan Afir, seorang Kapita Laut dari Tobelo. Setelah upacara tukar-menukar hadiah, empat puluh kora-kora disiapkan untuk ekspedisi pembajakan ke Manado”

Dengan demikian aksi para bajak laut terus berlanjut dan bersama Inggris mereka merupakan kekuatan utama yang mengantar Nuku menduduki takhta Tidore dan kemudian menundukkan kekuatan gabungan Ternate - Belanda.

Pada awal abad ke-19 mulai muncul kelompok bajak laut Tobelo yang menjalin kerja sama dengan bajak laut Mangindanao. Para bekas pengikut Nuku yang menyingkir ke Seram Timur bersama raja Jailolo Muhammad Asgar banyak yang bergabung dengan kelompok bajak laut tersebut karena tanah yang kurang subur di Seram Timur tidak mampu mendukung keberadaan kelompok tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan. Para bekas pengikut Nuku tersebut terdiri dari kebanyakan orang-orang Halmahera Timur dan orang-orang Tobelo.

Dengan demikian, sejarah maritim di Indonesia Timur mencatat kemunculan kelompok bajak laut Tobelo, dan belakangan muncul pula bajak laut Galela dengan  Seram Timur sebagai salah satu jalur transit sekaligus pemukiman para bajak laut.
Wilayah operasi bajak laut Tobelo mencakup wilayah yang luas, dari perairan Flores di selatan hingga Toli-Toli di utara Sulawesi. Dari kepulauan Maluku hingga pantai utara Jawa Timur. Untuk mendukung operasinya, para bajak laut membangun beberapa pemukiman seperti Tanah Jampea di depan Selayar, Tobungku di pantai Timur Sulawesi dan Toli-Toli di utara Sulawesi. Perairan Flores merupakan wilayah “operasi bersama” antara bajak laut Tobelo dan Mindanao dari Pilipina Selatan. Tetapi pada tahun 1822 Belanda melakukan sebuah operasi anti bajak laut di pulau Sape yang bukan saja berhasil mengalahkan para bajak laut, tetapi juga mengakhiri kerja sama antara bajak laut Tobelo dan bajak laut Mindanao di wilayah perairan Flores. Kelompok bajak laut Mindanao mem-fokus-kan operasinya di Sulawesi Utara, Kalimantan dan Philipina sedangkan bajak laut Tobelo memfokuskan operasinya di pantai timur Sulawesi.

Perbedaan wilayah operasi membuat perbedaan dalam penyebutan kata bajak laut. Di wilayah yang di dominasi oleh bajak laut Mindanao seperti di wilayah pantai barat Sulawesi, Kalimantan,Sumatera dan Malaya, “Lanun” yang berasal dari kata Iranun merupakan sebutan generik bagi bajak laut. Bagi masyarakat Sulawesi Utara, kata Mangindanao adalah sinonim untuk bajak laut. Penduduk kepulauan Sanger menganggap tabu untuk menyebut kata Mangindanao terutama jika sementara berada di tengah lautan. Dalam “sasahara” (bahasa rahasia) penduduk kepulauan Sanger, kata untuk bajak laut adalah Malanghingin, dari kata Balangingi, kelompok bajak laut Philipina Selatan. Sedangkan bagi penduduk pantai timur Sulawesi yang di dominasi oleh bajak laut Tobelo, kata untuk menyebut bajak laut adalah Tobelo, Pabelo, atau Belo.

Setelah orang Iranun meninggalkan perairan Flores dan pantai timur Sulawesi, orang Tobelo merubah modus operandinya, dari perompakan berskala besar menjadi perompakan dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyebar sehingga sulit terdeteksi dan makin menyulitkan pemerintah Belanda dalam operasinya membasmi para bajak laut. (Kelompok terbesar bajak laut Tobelo yang pernah dicatat tahun 1872 adalah yang terlihat di Teluk Tomini yaitu sejumlah 48 perahu. Kelompok tersebut terdiri dari kumpulan perahu kecil yang masing-masing memuat 10 - 60 pembajak. Perahu-perahu ini diikat menjadi satu dan setelah sampai di lokasi tertentu mereka kemudian menyebar ke berbagai arah untuk melakukan pembajakan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 40-50 pembajak.) Beberapa aksi bajak laut Tobelo yang terekam dalam catatan pemerintah Belanda bisa dilihat disini.

Tahun 1846 tiga orang pemimpin bajak laut Tobelo tiba di Banggai, dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh orang-orang Ternate yang sementara menghadapi pemberontakan bersenjata oleh penguasa Banggai, Raja Agama yang didukung oleh orang-orang Makassar. Para bajak laut yang bahu-membahu dengan tentara Ternate berhasil memadamkamkan pemberontakan tersebut dan Sorani, salah satu pemimpin bajak laut diizinkan bermukim di salah satu pulau di kepulauan Banggai dan melakukan penangkapan budak di wilayah tersebut. Para pembesar Ternate menjadi penadah budak hasil tangkapan para bajak laut.

Sementara itu, sebagian bajak laut Tobelo membangun pemukiman di Toli-Toli, dan dari situ melakukan “operasi bersama” dengan para bajak laut Mindanao, Dayak Laut (Iban), dan kelompok perompak lainnya. Toli-Toli merupakan basis untuk operasi di pantai barat Sulawesi, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Sebuah catatan pada tahun 1812 menggambarkan Toli-Toli sebagai “the great piratical establishment”. Kerja sama antara berbagai kelompok bajak laut merupakan hal yang lumrah. Merujuk pada sebuah catatan dari tahun 1830, pulau Tanah Laut, di sebelah selatan pulau Kalimantan, merupakan pemukiman kelompok bajak laut yang terdiri dari orang Iranun, gerombolan Haji Jawa dari Kalimantan, orang-orang Tobelo dan orang Bajau.

Selain merompak dan menangkap budak, para bajak laut ini seringkali berfungsi sebagai mercenary (tentara bayaran). Pada tahun 1820-an, para bajak laut membantu sultan Sulu untuk menaklukkan kesultanan Brunei. Sultan Buton pernah menawarkan 100 orang budak bagi para bajak laut Tobelo yang menetap di Kendari untuk membunuh Vosmaer, seorang Belanda yang mendirikan pos perdagangan di Kendari. Permintaan ini ditolak oleh para pemimpin bajak laut, Dagi-dagi dan Kapita Tobungku karena hubungan baik yang telah terjalin antara para bajak laut dan Vosmaer.

Terkadang para penguasa melakukan pembiaran bagi para bajak laut yang beroperasi di wilayahnya karena para bajak laut dapat berperan untuk melemahkan suku-suku yang memiliki potensi untuk menyaingi kekuatan para sultan. Hal ini terjadi misalnya di Nusa Tenggara di mana para sutan Bima membiarkan suku Manggarai diserang oleh para bajak laut. Dengan demikian para sultan Bima meminjam tangan para bajak laut untuk melemahkan suku yang diragukan kesetiaannya terhadap para sultan. Serangan yang berkelanjutan menyebabkan orang Manggarai yang mulanya bermukim di tepi pantai akhirnya berpindah ke pedalaman.

Motivasi di balik Pembajakan di Laut

Menyimak mobilitas dari para bajak laut, penting untuk menggali motivasi yang mendorong sekelompok orang untuk melakukan berbagai aksi pembajakan di laut yang bukan hanya berbahaya, tetapi juga dilakukan dengan taruhan nyawa.

Bagi orang-orang Iranun, menjadi bajak laut merupakan sesuatu yang sudah mendarah-daging. Mereka adalah kelompok manusia yang merasa “dilahirkan untuk membajak di laut” dan perbudakan merupakan aspek penting dalam struktur sosial orang Iranun. Separuh penduduk kepulauan Sulu adalah budak (disebut oripen atau baniaga) yang dipekerjakan di berbagai bidang, dari penangkapan ikan, sebagai pendayung perahu, sampai pengumpulan sarang burung.

Kelompok Dayak Laut (Iban) merompak dengan satu tujuan : memburu kepala. Harga diri dan kehormatan suatu pemukiman orang Iban sangat tergantung pada jumlah kepala yang berhasil dikumpulkan. Kepala juga penting dalam penyelenggaraan berbagai upacara dari awal masa tanam, panen, upacara kelahiran, kematian dan sebagainya. Setiap tahun ribuan budak hasil tangkapan dari Philipina mengalir ke Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Tahun 1845 pemerintah kolonial Spanyol menempatkan Juan Bautista Barrera di Jolo dengan tugas menebus warga Philipina yang tertangkap oleh para bajak laut. Sejumlah catatannya menggambarkan kemarahan karena ketidakmampuannya menebus banyak sekali budak karena seringkali ia kehabisan uang tunai dan barang berharga untuk dibayarkan kepada para bajak laut. Para budak yang tidak ditebus biasanya langsung dikapalkan ke Kalimantan dan diserahkan kepada orang Iban yang membayar dengan teripang dan sarang burung. Mengumpulkan teripang dan sarang burung untuk ditukarkan dengan budak merupakan cara alternatif bagi orang Iban untuk mendapatkan kepala selain dengan merompak dan menyerang pemukiman suku lain.

Banyak sejarahwan sepakat bahwa selain faktor ekonomi, faktor politik merupakan motif bagi orang-orang Tobelo dan Galela untuk terjun dalam kegiatan pembajakan di laut. Menjadi bajak laut merupakan respon bagi tekanan politik para sultan yang secara semena-mena memonopoli dan menetapkan harga berbagai komoditi penting seperti teripang, mutiara, hingga perahu dan beras. Sedangkan pemerintah Belanda dan pedagang Cina memonopoli perdagangan pakaian, peralatan keramik dan barang-barang logam. Menjadi bajak laut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap para penguasa dan oleh sebab itu para bajak laut seringkali menyerang kapal-kapal dagang milik sultan Ternate.

Faktor lain adalah hasrat bertualang yang dilandasi oleh “spiritualitas Halmahera”, terutama konsep triatomik masyarakat Halmahera yang memandang manusia terdiri dari tiga bagian, roehe (raga), gikiri (roh), dan gurumi (jiwa, semangat, manna, kekuatan batin). Kehormatan seorang Halmahera terletak dalam kekuatan guruminya. Oleh karenanya dilakukan usaha-usaha untuk membangkitkan gurumi seseorang antara lain lewat ritual hokara. Pengalaman menempuh bahaya dan tantangan (seperti dalam kegiatan perompakan) juga dianggap dapat memperkuat gurumi seseorang dan kemenangan-kemenangan dalam menaklukkan musuh dapat membuat seseorang “dipenuhi gurumi”.

Penjinakan Bajak Laut

Selain melakukan operasi bersenjata untuk mengatasi keganasan para bajak laut, pemerintah kolonial juga melakukan usaha-usaha dalam rangka untuk menjinakkan kelompok bajak laut tersebut. Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik  menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo Muhammad Asgar, yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.

Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.

Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo  yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung diangkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya.

Larangan perdagangan budak oleh pemerintah Belanda juga menurunkan motivasi para perompak karena budak merupakan komoditas yang paling berharga. Larangan terhadap perbudakan lebih dulu diberlakukan di Indonesia Timur ketimbang di daerah lain mengingat akutnya penangkapan budak di wilayah tersebut. Perompakan di perairan Nusantara juga berakhir sebagai dampak dari perkembangan teknologi dengan berkembangnya transportasi dengan kapal uap yang mampu bergerak dengan cepat dalam melakukan pengejaran terhadap para bajak laut. Tahun 1866 Belanda melakukan operasi pengejaran di perairan Flores dengan menggunakan kapal uap dengan didukung ribuan prajurit kesultanan Bima. Operasi tersebut merupakan pukulan berat bagi para bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Orang Tobelo tidak banyak menyisakan  jejak di wilayah-wilayah tempat mereka beraksi sebagai perompak karena sebagian besar kembali pulang ke Halmahera, tetapi mereka meninggalkan reputasi mengerikan sebagai bajak laut tangguh yang belum lekang hingga saat ini.

(dari berbagai sumber)


peta jalur operasi dan pemukiman bajak laut Tobelo dan Galela ,Mindanao

http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-our-ancestors-are-sea-pirates/10151327327769502

CANGA - CANGA (Bajak Laut Tobelo-Galela)

Pada abad ke-19, beberapa perairan penting di Indonesia dihantui oleh perompakan-perompakan yang dilakukan para bajak laut. Aksi-aksi para bajak laut ini sangat memusingkan Pemerintah Kolonial Belanda dan angkatan lautnya. Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku. Sampai paruh pertama abad ke-19 ini, pelaku perompakan terutama terdiri dari orang-orang Filipina Selatan, yakni orang Balangigi, Mindanao dan Sulu.

J.A. Muller19 melaporkan bahwa Komandan kapal Willem I, Wolterbeek Muller, mengalami musibah karam kapalnya ketika tengah mengejar bajak laut “Maluku.” Tetapi, para bajak laut tersebut ternyata orang Mindanao yang perahunya dilengkapi dengan senjata api.

Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala. Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. Pada 1835, Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. Ketika ditangkap, Syarif Takala baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.

Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif  Takala maupun Dato Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.

Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan mereda untuk sementara waktu. Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.

Sekitar pertengahan abad ke-19, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru: gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. Pada 1850, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang – tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.

Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok.Sementara perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. Patroli angkatan laut yang dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik, bukan perompak Filipina Selatan.

Pada 1852, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.Laporan-laporan tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela. Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat dalam aksi-aksi perompakan.

Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka – terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk menanggulanginya. Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak, selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. Pulau-pulau yang berdekatan dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi para bajak laut Tobelo dan Galela.

Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855 tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.

Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. Setelah kampung itu rata dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku (“kampung yang terbakar”) ke Gamsungi (“kampung baru”), yang kemudian menjadi ibukota Kecamatan Tobelo hingga sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.

Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.

Gerombolan-gerombolan perompak ini beroperasi dengan menggunakan perahu-perahu yang dapat mengangkut puluhan pendayung dan ratusan pembajak. Disamping itu, perahu-perahunya dipersenjatai dengan meriam dan senjata api. Bila kepergok kapal patroli Belanda, mereka melakukan perlawanan dan sering terjadi tembak-menembak dengan kapal-kapal Belanda itu.

Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember 1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.

Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai, keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi “sole agent” pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.

Berkenan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:


  1. Bahwa angka-angka yang dilaporkan Pemerintah Belanda mungkin masih berada jauh di bawah angka sesungguhnya, baik dalam jumlah perahu maupun yang menjadi pelakunya, serta yang menjadi korban sebagai budak.
  2. Penamaan kampung Gamhoku dan Gamsungi, dengan demikian, muncul belakangan, pasca penembakan dan pembakaran yang dilakukan Belanda. Nama kampung Gamhoku sebelum kebakaran tidak begitu jelas.Daerah operasi para perompak itu sangat luas. Pada masa puncaknya, wilayah yang dijangkau para bajak laut sampai ke Laut Jawa. Bahkan, dengan bekerjasama dengan orang-orang Filipina Selatan, wilayah operasi mereka mungkin lebih luas lagi.
  3. Atas dasar hal-hal tersebut, orang-orang Tobelo-Galela yang menjadi bajak laut itu menunjukkan kemampuan mereka mengorganisasikan diri dalam suatu kekuatan yang tangguh menghadapi angkatan laut Belanda.
  4. Kemampuan managemen dan logistik serta kepemimpinan yang piawai dan pengetahuan navigasi serta pelayaran yang luas, dengan demikian, dimiliki para bajak laut Tobelo – Galela.

Untuk menanggulangi ulah bajak laut asal Tobelo-Galela, pada 1878 Said Muhammad, seorang keturunan Arab yang bermukim di Makian, mengorganisasi sebuah badan anti bajak laut yang beranggotakan 125 orang. Kelompok ini mengejar dan menangkap para bajak laut yang ditemukannya. Pada tahun pertama setelah badan ini berdiri, Said Muhammad dan anak buahnya berhasil menangkap 140 bajak laut Tobelo-Galela, yang langsung digiring ke Ternate.

Keberhasilan kelompok Said Muhammad turut berperanserta dalam mengurangi aksi-aksi perompakan, terutama di Kepulauan Bacan dan Sanana-Taliabu. Disamping itu, Sultan dan Residen Ternate mengeluarkan peraturan bersama yang mewajibkan semua perahu orang Galela dan Tobelo memiliki pas jalan apabila hendak berlayar. Perahu yang tidak memiliki pas jalan dianggap sebagai perahu bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Menurut van Fraassen, berakhirnya aksi perompakan ini secara alami dikarenakan mulai berkembangnya pelayaran kapal-kapal laut.


Gubernur Jenderal Turun-tangan Membasmi Pembajakan
Gubernur jenderal Hindia Belanda, Pahud, mengunjungi Ternate pada Januari tahun 1861. Setiba di Ternate, ia melakukan perundingan dengan Sultan Ternate dan Tidore. Agenda pokok yang dirundingkan adalah usaha-usaha preventif yang harus diambil untuk mencegah kawula kedua kesultanan itu melakukan perompakan, dan bantuan untuk mengatasinya, terutama untuk kasus-kasus pembajakan yang tejadi di Maluku.

Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo dan Galela, Pemerintah Hindia Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya, karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.

Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. Bersama Residen Ternate, Sultan kemudian men geluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat ijin berlayar yang dbubuhi cap Sultan dan Residen. Yang tidak memiliki surat ijin atau pas jalan akan diperlakukan sebagai bajak laut dan ditindak tegas.

Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862, misalnya, hanya ditemukan satu perahu Tobelo yang yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Baru pada bulan Pebruari 1868, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.

Pada 1861, Pemerintah Belanda menempatkan satu regu tentara, terdiri dari 6 prajurit pribumi dan seorang kopral Belanda, di Dodinga untuk mengawasi lalu lintas antara Bobaneigo dan Dodinga. Lalu lintas di daerah itu mulai ramai sebagai rute perdagangan darat antara Halmahera dan Ternate. Detasemen tentara tersebut menempati Benteng Dodinga, yang kini tidak ada bekasnya lagi karena digunakan untuk membangun jalan.

Barangkali atas desakan Belanda, Kesultanan Ternate dalam tahun ini melakukan pemecatan terhadap Sangaji Tobelo, Manis. Ia dipecat berkenan dengan maraknya aksi pembajakan di laut yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Demikian pula, Sangaji Galela dipecat dengan alasan yang sama.



Peta Pelayaran Bajak Laut Tobelo Galela

Jangan Lupa Tinggalkan Jejak (Like & Coment)