Minggu, 25 Maret 2012

SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA

Pendahuluan
Dewasa ini kota-kota di dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat, dalam perubahan tersebut, bangunan, kawasan maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan ataupun objek lainnya yang lebih bersifat ekonomis-komersial. Gejala penurunan kualitas fisik tersebut, dengan mudah dapat diamati pada kawasan kotakota tersebut pada umumnya berada dalam tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang, budaya membangun pun telah mengalami perbedaan nalar, hal ini terjadi karena kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses urbanis yang pragmatis. Urbanisasi dan industrialisasi menjadikan fenomena tersendiri yang menyebabkan pertambahan penduduk yang signifikan serta permintaan akan lahan untuk permukiman semakin meningkat di perkotaan. Bagian dari permasalahan itu, akan membuat kawasan kota yang menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak dan terkikis. Pertentangan atau kontradiksi antara pembangunan sebagai kota “modern” dengan mempertahankan kota budaya yang masih mempunyai kesinambungan dengan masa lalu, telah menjadikan realitas permasalahan bagi kawasan kota
Pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan pun jarang mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk di kawasan tersebut. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum banyak dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umum pun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau dengan kata lain, masih terdapat adanya kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi.
Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah romantisme masa lalu atau upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam merancang sebuah kota.

Sejarah Kota dan Kawasan (What is Urban History and Urban Area?)

Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu bahwa: setiap kota pasti mempunyai sejarah; di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; bagaimana kotakegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya).
Sejarah perkotaan (urban history) pada dasarnya merupakan bidang studi internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya yang cenderung multidisiplin, maka dalam sejarah perkotaan tidaklah luar biasa untuk dapat menemukan beberapa ahli di antaranya, adalah ahli sejarah, arsitektur, geografi, perencana, atau kritikus sastra, dan mereka semua dapat dinamakan sebagai ahli sejarah perkotaan. Di sisi lain sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan local history, dan studi tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari kehidupan di komunitas lokal serta dilakukan dengan sebuah analisa dan penjelasan.
Ada empat pendekatan dalam bidang sejarah perkotaan yang dapat diidentifikasi: Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi. Kedua, adalah urban biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan berhubungan dengan beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi, pemerintah kota, perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. Ketiga, memperlakukan beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya dalam konteks sebuah kota. Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam “reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities.

Belajar dari Sejarah Awal Berkembangnya Perkotaan

Dengan mempelajari sejarah kota, kita akan dapat melihat pengejawantahan pemikiran jujur tentang penataan kota masa lampau, dari tata cara penataannya, sampai pada sumber kehidupan warisan sejarah sebagai tempat beraktivitas. Banyak hal yang dapat dipetik dengan mempelajari sejarah perkotaan dari Majapahit-Kota Indis-Kota Islam dan dari negara lain seperti India-Cina-Jepang, akan dapat memberikan tambahan pemahaman arti sejarah perkotaan yang lebih mendalam.

Tata ruang kota Majapahit

Struktur kekuasaan dari kerajaan Majapahit mempunyai pengaruh besar pada organisasi ruang kotanya, hal ini dapat dilihat dengan adanya: 1. wilayah inti pusat kerajaan Majapahit; 2. wilayah inti sistem candi-candi kerajaan Majapahit; 3. wilayah kantong (enclave) pemujaan arwah nenek moyang; dan 4. wilayah perdesaan kerajaan Majapahit. Di samping itu, perkembangan dari Majapahit secara makro wilayah dipengaruhi arus kecenderungan pertumbuhan, yaitu arus perkembangan kebudayaan Hindhu Jawa; dan perkembangan global di pihak lain. Pada penataan kota Majapahit mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Hindhu-India yang datang ke Jawa melalui medium agama Hindhu-Budha. Dengan demikian, kota Majapahit merupakan perpaduan antara unsur-unsur dua kebudayaan, India dan Jawa. Untuk ciri pola tata ruang kota Majapahit, dapat dilihat adanya: 1. pola ruang berpusat, dengan kawasan inti berpola grid, sedangkan kawasan luar melingkar berpola sirkular; 2. kawasan antara merupakan kawasan transisi, antara dua hierarkhi kawasan, antara dua tingkat masyarakat kota, dan dua jenis pola keruangan kota, terkendali dan organis; 3. keseluruhan kawasan kota merupakan sistem kerungan terbuka, baik secara ekologis, secara sosial, maupun secara kewilayahan yang diwujudkan dalam bentuk kota tanpa dinding fisik; dan 4. pemilihan perpaduan pola keruangan kawasan kota tersebut di atas dapat menjadi strategi keruangan jangka panjang yang adaptif.

Perkembangan awal kota Indis

Kota Indis, muncul pada waktu hadirnya pemerintah kolonial Belanda, mulai abad ke-16. Pada awalnya perkembangannnya, kota ini menjiplak kota-kota asalnya, dalam perkembangannya, seorang ahli perkotaan Peter JM. Nas membedakan kota menjadi empat macam, yaitu di antaranya: kota awal Indonesia; kota Indis; kota kolonial; dan kota modern. Dalam kota Indis diketahui terdapat adanya: a. daerah benteng yang dihuni oleh pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai VOC; b. daerah perdagangan yang dihuni oleh orang-orang asing (kebanyakan orang-orang Cina); dan c. Kampung (pada awalnya berada di luar benteng), yang dihuni oleh penduduk pribumi. Kemudian pada perkembangan berikutnya, kota awal Indonesia memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial-budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu kota-kota pedalaman dengan ciri-ciri tradisional, religius; dankota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan. Ada tiga ciri untuk memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu antara lain: budaya; teknologi, dan struktur kekuasaan kolonial.
Pada kota-kota lama di Jawa sampai abad ke-18 tidak mengalami perkembangan yang berarti, dan kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan, umumnya menjadi kota pusat pemerintah daerah. Bentuk kota kabupaten digambarkan tidak jauh berbeda dengan perdesaan sekitarnya, dan kelompok bangunan di kota-kota lebih rapat satu sama lain, dibanding kelompok perumahan di perdesaan. Untuk kota-kota pantai kuno, kelompok perumahan di kota pusat pemerintahan lebih jarang, bentuk bangunannya masih tradisionil. Elemen pembentuk ruang pada kota tradisional Jawa, antara satu dengan lainnya menggunakan dua prinsip, yaitu di antaranya mikrokosmos dualistis; dan mikrokosmos hirarkhis. (Santoso 1984)

Karakteristik kota Islam

Dengan masuknya Islam, maka pengaruhnya pun juga memberikan ciri atau karakteristik kota Islam, yaitu antara lain: mempunyai benteng; mempunyai kompleks kediaman penguasa (istana; bangunan-bangunan pemerintahan; dan bangunan-bangunan pasukan pengawal); mempunyai civic center (masjid Jamik dengan madrasahnya; dan pasar); mempunyai perkampungan untuk penduduk dengan pengelompokkan (etnis; agama; dan ketrampilan); dan di luar benteng terdapat perkampungan untuk komunitas dengan beberapa (pekerjaan tertentu; dan pemakaman).
Untuk komponen-komponen pokok dari kota Mataram-Islam dan kota yang berkembang di wilayah pantai utara Jawa dapat dikelompokkan: 1. Fungsi tempat tinggal dalam dua komponen: a. kraton beserta alun-alunnya bagi penguasa dan keluarga terdekatnya; dan b. permukiman lain yang terbagi dalam dua macam, yaitu antara lain: dalem bagi golongan bangsawan dan elite birokrat; dan permukiman bagi rakyat non elit; 2. Fungsi keamanan tercermin dalam komponen, yakni benteng baik dalam maupun luar, jagang, dan jaringan jalan; 3. Fungsi ekonomi tercermin dalam keberadaan pasar, jaringan jalan, serta nama tempat yang menunjukkan profesi; 4. Fungsi religi terlihat dalam keberadaan masjid, nama tempat yang menggambarkan profesi keagamaan dan alun-alun; dan 5. Fungsi rekreasi terlihat adanya taman dan krapayak.

Penataan kota di India

Di dalam perencanaan kota dan desa di India waktu itu, salah satunya harus memperhatikan Vastu-purusha mandala baik dengan tatanan 64 maupun 81. Dinding atau tembok kota dibangun sepanjang batas dari mandala; dan jalan di buat dari arah utara-selatan dan timur-barat sepanjang garis padas dari satu padas ke berikutnya. Vastu-purusha mandala: sebagai dasar perencanaan kota Jaipur di India; dan semua jalan berada pada arah longitudinal timur-selatan-timur, dan barat-utara-barat. Swastika, adalah sebagai solar simbol bangsa Aryan kuno, dapat digunakan untuk perencanaan: 1. rumah tinggal; 2. layout tata ruang; 3. perencanaan kota; dan 4. menata sekuen dari jalan. Kheta, yang diperbolehkan untuk bertempat tinggal di wilayah ini hanya kasta Shudra di sini tidak mempunyai pusat; dan sebagai pusat adalah dinding/ tembok kota. Kemudian bentuk sederhana dari perencanaan kotanya haruslah jelas: kasta Brahma, harus bertempat tinggal dan bekerja di wilayah/bagian utara; kasta Kshatriya, di wilayah/bagian timur; kasta Vaishya, di wilayah/bagian selatan; dan kasta Shudra di wilayah/bagian barat. Dengan demikian, konsep dan pedoman penataan kota di India sesuai yang termuat dalam pustaka Manasara Silpasastra atau Kautilya Arthashastra. Di samping itu, mereka juga mempunyai unsur-unsur permukiman atau kompleks pusat kerajaan, antara lain: candi (mandira, devalaya); pasar (apana); jalan dan lorong (vithi); saluran air-selokan; istana raja; perumahan umum; pasar; gapura-pintu gerbang (gopura); tempat persediaan air, sumur; tembok kota; jalan bawah tanah; benteng; dan menara jaga, dan sebagainya.

Awal dari perkembangan kota kuno di Cina

Kota-kota kuno Cina yang berhasil diketemukan dan dapat dijelaskan, bahwa: 1. semua kota di kelilingi dengan dinding/tembok dari tanah; 2. hampir keseluruhan bentuk pola kota adalah empat persegi dan persegi panjang; 3. keseluruhan bangunan digunakan untuk tujuan politik dan keagamaan; dan 4. ciri-ciri yang tetap/konstan adanya wilayah yang spesial menurut prinsip Cina dari segregasi sosial. Pada perencanaan kota Changan, kota di bangun dengan denah dasar simitris, mencakup area panjang 6 mil dari timur-barat dan 5 mil 3 meter dari utara-selatan. Pada bagian dinding-dindingnya mempunyai ketebalan 16 feet dan 22 mil 5 meter panjangnya, dan mempunyai tiga pintu gerbang di utara dan barat, serta delapan di utara. Kota dibagi menjadi lima bagian: a. di utara istana kekaisaran; b. istana; c. di sebelah utara istana kekaisaran di kelilingi dinding/tembok dari tanah; dan d. di selatan dari istana berisi bangunan pemerintahan dan badan-badan lainnya. Di samping hal tersebut di atas, dapat dilihat juga bahwa istana kekaisaran dan bangunan pemerintahan yang berkembang pada waktu itu seluruhnya terpisah dari pasar dan daerah tempat masyarakat bertempat tinggal. bersejarah, karena sebagian dari perjalanan sejarah kawasan yang masih menyimpan sejumlah peninggalan sejarahnya. itu mesti dibangun dan dikembangkan; serta adanya

Perkembangan awal kota di Jepang
Kata machi adalah berasal dari satu blok ladang yang ditanami. Di mana sebuah ibu kota disusun/direncanakan dalam sebuah grid empat persegi panjang. Hal ini juga dimaksudkan bahwa satu blok kota di kelilingi oleh empat jalan, kemudian untuk Jori sistem adalah pembagian tanah untuk ladang yang ditanami padi, sedangkan Jobo sistem adalah sistem untuk pembagian tanahnya.
Tsubo, digunakan sebagai unit dasar dari ukuran tanah di dalam perencanaan kota, dan unit terbesar dari pembagi adalah persegi berjumlah dalam 36 area. Garis dari ri adalah timur-barat, sedangkan jo adalah selatan-utara. Tsubo di kelilingi oleh empat jalan yang sempit dan unit pembagi terbesar bo, di kelilingi oleh empat jalan lebar dinamakan oji. Denah dari kota terdiri dari delapan bo timur-barat, dan sembilan bo selatan-utara, untuk jalan utama yang di tengah, yang berjalan dari gerbang utama ke halaman istana adalah merupakan bagian pemerintahan, di dalamnya termasuk istana kekaisaran dan dinamakan Sujaku-oji. Jalan ini membagi kota ke dalam bagian yang sama, separuh dari kiri dari bagian kota dinamakan Sakyo, separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah barat, dan Ukyo separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah timur. Bo adalah menomori di sebelah luar dari pusat jalan, bo pertama, bo kedua, bo ketiga, dan bo keempat ke timur dan barat. Untuk menetapkan posisi arah di sebelah utara-selatan, garis dari empat bo dinamakan jo, dimulai dengan jo pertama di utara, sampai jo kesembilan di selatan. Karena itu, metode penamaan disebut sebagai pola dan perencanaan kota sistem jobo. Empat persegi panjang bo adalah membagi lagi oleh persilangan yang sempit ke dalam empat blok bujur yang serupa, dan sebagai akibatnya adalah dimungkinkan untuk menata setiap rumah menghadap matahari dan dengan halaman tamannya.
Konservasi Perkotaan
Pemahaman tentang konservasi

Jika kita ingin bergerak untuk menyelesaikan masalah pelestarian, ada tiga pertanyaan kunci yang harus diajukan: (1) Apa yang ingin kita lestarikan? (Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?); (2) Mengapa kita ingin melestarikan? (Karena aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk meningkatkan lingkungan dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?); dan (3) Untuk siapa kita lakukan pelestarian? (Pengguna saat ini?, Keseluruhan negara?, Warisan umat manusia?).
Ada beberapa pemahaman dan pengertian mengenai conservation (konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional, dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis. Pendapat lain mengenai konservasi: adalah, upaya untuk melestarikan bangunan, mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dari Piagam Burra, pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
Untuk itu, alangkah baiknya kalau kegiatan konservasi/preservasi pun haruslah dapat memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap kota dan komponen-komponen yang ada di dalamnya. Manfaat tersebut antara lain sebagai atraksi yang menarik bagi wisatawan mancanegara, merupakan media untuk mempelajari perkembangan arsitektur dan kota, dan sebagai wadah pembelajaran sejarah kota bagi masyarakat. Usaha-usaha untuk preservasi akan memberikan manfaat praktis bila manfaat kegiatan tersebut, adalah sebagai berikut: 1. preservasi lingkungan/kawasan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan, memberikan tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan/kawasan lama; 2. di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat sekarang ini, lingkungan/kawasan lama akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan; 3. untuk mempertahankan bagian kota akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri dan suasana kontras; 4. kota dan lingkungan/kawasan lama adalah satu aset terbesar dalam industri wisata, sehingga perlu dipreservasi; 5. salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang; 6. membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologis dan merasakan bukti fisik suatu tempat di dalam tradisinya; dan 7. membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau.
Dalam konteks pembangunan kota, tindakan untuk melestarikan warisan budaya perkotaan (urban heritage) diperlukan adanya motivasi. Motivasi tersebut antara lain adalah: 1. motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah; 2. motivasi untuk menjamin terwujudnya atau terpeliharanya tata ruang kota yang khas; 3. motivasi untuk mewujudkan adanya suatu identitas tertentu yang dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari kota; dan 4. motivasi ekonomi, suatu bentuk peninggalan tertentu yang dianggap memiliki nilai atau daya tarik dan perlu dipertahankan sebagai modal lingkungan/kawasan.

Konservasi dalam lingkup bangunan dan lingkungan:

Konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan, mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis, kemudian dari konsep yang statis tersebut berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas lagi. Sasarannya tidak terbatas pada objek arkeologis saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan dan kawasan, dan bahkan kota bersejarah dan pada akhirnya, konservasi menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan yang mencakup preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Tujuan dari itu semua adalah untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa, sehingga makna kulturalnya yang berupa: nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini dan masa datang akan dapat terpelihara.

Apa yang dimaksud dengan konservasi area?
(What is a Conservation Area?)
Konservasi area sebenarnya dapat meliputi beberapa hal, seperti perdesaan (rural), perkotaan (urban), arkeologi (archeology), atau natural area yang mempunyai kualitas spesial, dan patut untuk dilindungi. Konservasi area direncanakan/ditentukan berdasarkan beberapa alasan:
1. untuk melindungi lingkungan atau konteks dari kelompok elemen-elemen kultural, bersejarah (historical), estetik (aesthetic) atau nilai keilmuan (scientific value);
2. untuk menuntun dan mengatur perkembangan baru;
3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti, pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau tekanan perkembangan;
4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi benda-benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria desainnya;
5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan mempromosikan nilai-nilainya; atau
6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national monument.
Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri? Penentuan dari konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang spesial dari area itu dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan. Pemilik, pengembang, arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang akan menjaga bahwa pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa perubahan tidak akan menghancurkan kualitas spesial yang diberikan sebagai makna budaya, dengan demikian konservasi area dapat diidentifikasi setelah survei komprehensif dan analisis kualitas pada area itu dilakukan.

Konsep Konservasi

Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Pada dasarnya, makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya (Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya (Danisworo, 1991). Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas. Dengan demikian, Peranan konservasi bagi suatu kota bukan semata bersifat fisik, namun mencakup upaya mencegah perubahan sosial.
Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan: 1. Penetapan objek konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya suatu objek dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta hubungan asosiasional; dan 2. Perumusan kebijakan konservasi suatu upaya merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu dilestarikan untuk kemudian dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi pelaksanaan konservasi.
Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut Sirvani (1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan program. Dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kebijakan Perancangan Kota, merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. 2. Rencana Perancangan Kota, merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada produk maupun proses; 3. Pedoman Perancangan Kota, dapat berupa pengendalian ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan 4. Program Perancangan Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau pada seluruh proses perancangan. Menurut Shirvani (1985), menggunakan terminologi tersebut untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan yang dapat memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan: a. Kegiatan konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian- merupakan usaha meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa meninggalkan makna kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita; b. Arahan konservasi suatu kawasan berskala lingkungan maupun bangunan, perlu dilandasi motivasi budaya, aspek estetis, dan pertimbangan segi ekonomi; dan c. Preservasi dan konservasi yang mengejawantahkan simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu dilancarkan.
Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di antaranya (Budihardjo, 1989): - Mengembalikan wajah objek konservasi; - Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini; - Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan - Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga dimensi. Akan tetapi dalam penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: - Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari konservasi; dan - Bagian-bagian bangunan atau tempat yang akan dikonservasi, atau bagian kota yang akan dilestarikan.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi adalah sebagai berikut: a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan yang akan dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi, di samping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan keanggunan (elegance); b. Kriteria Historis, kawasan yang akan dikonservasikan memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya yang memudar; c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota.
Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu objek yang unik dan karya yang mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunakan sebagai contoh, suatu objek konservasi; 2. Fungsi objek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh. Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan 3. Fungsi lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat, karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya tersebut.

Revitalisasi Kawasan Kota

Salah satu kegiatan dari konservasi adalah revitalisasi atau upaya untuk mendaur-ulang (recycle) yang tujuannya untuk memberikan vitalitas baru, dan meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada namun telah memudar. Kegiatan revitalisasi muncul karena adanya permasalahan yang muncul sejalan dengan perkembangan kota yang begitu cepat dan membawa perubahan yang cukup drastis. Perubahan tersebut seringkali mengakibatkan timbulnya masalah yang pembenahannya seringkali memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan tatanan perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran bangunan-bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih tidak memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala upaya revitalisasi biasa terjadi pada tingkat mikro kota, seperti sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup kawasan kota yang yang lebih luas.
Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota. Karakteristik dari kawasan yang membutuhkan revitalisasi, adalah kawasan mati (tidak berkembang lagi), kawasan yang perkembangannya melesat dari arah semula, dan kawasan-kawasan yang “ditinggalkan”. Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi.
Dilihat dari pengertian di atas, maka revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan ruang teratasi dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama. Pada dasarnya proses revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: intervensi fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi sosial/institusional. Revitalisasi adalah salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bias berupa penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan hidup, peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya (Sujarto dalam Farma, 2002:23).
Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap terpelihara, aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan keuntungan ekonomi. Proses ini memerlukan dukungan dan peran aktif masyarakat, sehingga segala usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat tidak dipatahkan lagi oleh masyarakat. Disamping hal itu, pemerintah diharapkan dapat bertindak dengan lebih tegas, yaitu dengan memperjelas konsep-konsep konservasi kotanya, mempunyai produk-produk berkekuatan hukum, menindak oknum-oknum yang melanggar, serta mampu memotivasi partisipasi masyarakat.

Mengapa Warisan Budaya? (Why heritage?)

Adanya pengakuan bahwa warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Warisan budaya sebuah kota dapat dilihat dalam tiga bagian faktor:
- Social factors, termasuk di dalamnya menambah citra dan identitas kota, integrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan sistem nilai dari masyarakat.
- Politico-economic, menyertakan peran dari heritage pada pariwisata, dan kepentingan arkeologi dan kesejarahan.
- Planning factors, terutama dipergunakan pada architectural heritage, redevelopmen dan regenerasi objek heritage untuk dipreservasi serta integrasinya ke dalam proses pengembangan yang lebih besar pada kota secara keseluruhan.
Untuk meletakkan isu dari heritage conservation dengan melihat seluruh proses dari pengembangan kota, baik itu berhubungan dengan isu yang lain, seperti pengembangan wisata, revitalisasi dari ekonomi daerah dan pemerintah daerah.
Beberapa contoh dari kota-kota yang telah melakukan heritage conservation
Kathmandu: It’s the People’s Heritage (Participation and Awareness-Building)
- Penanggungjawab adalah pemerintah daerah Kathmandu Municipal Corporation (KMC) yang merealisasikan keinginan untuk mengintegrasikan konservasi warisan budaya ke dalam proses yang lebih luas dari komunitas dan partisipasi masyarakat.
- Keterlibatan komunitas sangat penting untuk keberhasilan dari beberapa langkah heritage, dan implikasinya untuk kebanggaan masyarakat dan citra kota.
- Preservasi warisan budaya secara langsung berhubungan dengan ekonomi kota, dan pariwisata menjadi aktivitas yang utama.
- KMC mendirikan Heritage and Tourism Department tahun 1977. Mengembangkan beberapa strategi heritage conservation di antaranya: program pendidikan dan kesadaran untuk publik; heritage tour untuk anak-anak sekolah, media radio dan televisi; partisipasi masyarakat; kerjasama publik-privat; dan financial incentives.
Penang: Preserving for the Future (Institutional and Policy Environment)
- kehidupan kota dengan arsitektur tradisional yang utuh, streetscape dan aktivitas sosio-ekonomi –menjaga nilai jual sebagai ‘produk wisata’.
- untuk mengembangkan dan menjaga identitas urban yang unik, kota difokuskan dengan memperhubungkan perencanaan fisik, kerangka kebijakan, dan master plan untuk menciptakan wilayah urban yang berkelanjutan dan dipertahankan untuk generasi mendatang.
- inisiatif program dan studi yang mengkombinasikan konservasi dengan tujuan luas dari local sustainability.
- mempersatukannya ke dalam rencana dan projek pariwisata, pada dasarnya menambah nilai ekonomi daerah, tetapi lebih untuk masa mendatang.
- inisiatif ekonomi yang berkelanjutan dijamin oleh kerjasama dengan sektor privat dalam bangunan potensi wisata untuk pengunjung dan penduduk setempat.
Manila: Getting the Framework Right (Documentation and Preservation)
- Untuk Pilipina, Intramuros (berarti, di kelilingi dinding) merepresentasikan permulaan dari pendataan sejarah mengenai perkembangan perkotaan (urban development).
- Usaha dalam restorasi dan redevelopmen dari Intramuros dimulai tahun 1965 untuk mencegah kerugian selanjutnya dan menggabungankan ke dalam mainstream dari urban development.
- Usaha dari preservasi Intramuros dilakukan dengan memisahkan urban planning dan biro pengembang bagi kawasan bersejarah. Intramuros Administration (IA) adalah bertanggungjawab untuk redevelopmen dan restorasi.
- Tindakan lain juga telah dilakukan, mengklasifikasi Intramuros sebagai ‘cultural zone’, merencanakan master plan kawasan yang terintegrasi, menghapus tata guna tanah yang tak sesuai, petunjuk perancangan dan peraturan urban streetscape untuk pengembangan mendatang, restorasi bangunan bersejarah, dan sebagainya.

Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan
Dentoteki Kenzobutsu Gun Hozon Chiki
atau preservasi untuk kolompok bangunan bersejarah – Den Ken Chiki – adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, di bawah badan perlindungan benda cagar budaya. Istilah ‘preservasi’, mencerminkan pandangan statis dari pekerjaan pemerintah terhadap bangunan kuno dan kawasan bersejarah, sedangkan Den Ken Chiki, lebih dinamis secara alami, dengan konservasi kawasan bersejarah meliputi di dalamnya preservasi, restorasi, rekonstruksi dan penataan ulang, pertimbangan ekonomi, sosio-kultural, aspek hukum dan administratif. Perlu untuk diketahui, bahwa di kawasan tersebut, lebih dari 80% rumah tinggalnya sampai saat ini masih bertahan, yang rata-rata dibangun pada era Edo (1596 ~1868).

Konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kota bersejarah Vigan

Kota Vigan merupakan kota yang terletak di Propinsi Ilocos Sur, Filipina, yang memiliki banyak bangunan bersejarah, yang terdiri dari 180 buah gedung pemerintahan dan rumah ibadah, gudang, taman, yang memiliki arsitektur abad ke-18 dan ke-19, yang merupakan percampuran antara arsitektur Spanyol, Mexico, Cina, dan arsitektur lokal. Penataan Kota Vigan memiliki ciri tata kota Hispanic. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat bertahan dari kerusakan, yang antara lain disebabkan oleh alam, perang dunia dan kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1970 yang menghancurkan banyak bangunan bersejarah. Kebudayaan yang dilestarikan juga termasuk industri tradisional, seperti pembuatan guci, batu bata dan ubin, perabotan kayu, garam, maguey rope, tukang besi, pemotong batu, dan hand-woven abel fabrics.
Untuk melindungi warisan budaya sejarah Kota Vigan, maka dilakukan upaya preservasi dan konservasi. Pada awalnya (awal tahun 1990-an), usaha pelestarian ini banyak mendapat halangan dari pemerintah lokal dan para pengusaha, untuk mendukung hal tersebut UNESCO memberikan solusi preservasi dan konservasi Kota Vigan, sehingga dapat merubah seluruh kultur masyarakat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut.
Untuk mendukung kegiatan preservasi dan konservasi, para stakeholder lokal perlu meninjau kembali arah pembangunan daerahnya untuk di arahkan ke budaya, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: menarik para wisatawan, pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kuno untuk berbagai macam kegiatan (museum, toko, penginapan, kantor, rumah makan, dan sebagainya), revitalisasi seni dan kerajinan tradisional, perbaikan dan pembangunan kembali bangunan untuk melestarikan budaya, mengembalikan keaslian di daerah pusat pelestarian pusat pelestarian (historic core), dan merehabilitasi jalur sungai kuno di sekeliling Kota Vigan untuk menghidupkan kembali industri di sekitar sungai dan mendukung kegiatan pariwisata. Pada kegiatan preservasi dan konservasi akan selalu berkoordinasi dengan badan-badan yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti badan internasional, nasional, dan lokal.

Penutup

Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Banyak contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera masa lalu, atau upaya untuk mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan sebagai alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut merupakan langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset sejarah lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan pada upaya pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program partisipasi melalui kegiatan ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu, perancangan kota harus menjadi perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta berkelanjutan (sustainable).
Sumber Acuan
Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus.
Adrisiyanti, I. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Jendela: Yogyakarta.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Djambatan.
Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, VII (22): 70-76.
Farma, A.S. 2002. Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas Kawasan Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, Bandung: ITB.
Pontoh, N.K. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori perancangan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, IV (6): 34-39.
Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region: Role of City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Srinivas, H. 1999. Mediation for Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources, University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.

Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan



Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya penegasan bahwa: - setiap kota pasti mempunyai sejarah; - di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; - bagaimana kota itu mesti dibangun dan dikembangkan; - kegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Dengan demikian perkembangan dan perubahan yang terjadi akan memberikan makna atau arti bagi kota itu sendiri. Perkembangan kota-kota telah terjadi dan pada akhirnya, memunculkan adanya dua teori: 1. Pertama, teori pemencaran (diffusionist theory) yang berpendapat bahwa gagasan pengembangan kota dipencarkan dari suatu wilayah peradaban atau kebudayaan ke wilayah lain di muka bumi ini. 2. Kedua, teori penemuan (inventionist theory) yang mengatakan bahwa gagasan pengembangan kota dapat saja timbul di suatu wilayah tertentu di muka bumi ini.
Menurut Giedeon Syoberg (1965), pola ruang sirkular, telah lama ada, mencerminkan adanya pemusatan kekuasaan dalam masyarakat pra-industri sebagai panutan dan pengendali, yang secara spasial maupun secara sosial, merupakan pola pusat dan pinggiran (center dan periphery).
Ini berarti bahwa puncak kekuasaan berada di tengah ruang kota, dan semakin jauh dari tengah kota semakin rendah, sedangkan tentang pola ruang kota berbentuk papan catur atau grid (grid-pattern). Oleh Stanislawski (1946) ditegaskan, bahwa pola ruang grid telah dikembangkan berikut landasan konsepnya dan dipakai pada kota Mohenjo Daro, bukan pada kota-kota pertama atau lebih tua, seperti di wilayah Mesopotamia dan di lembah Nil. Menurut Spiro Kostof (1992), ciri-ciri kota adalah suatu tempat, berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumber daya, tergantung pada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan. Namun menurut cara pandang sistem ruang kota atau permukiman terdapat empat unsur-unsur ruang yang saling berkaitan dan mendukung (Doxiadis 1968), yaitu 1. unsur ruang pusat (central part); 2. unsur ruang homogin (homogeneous part); 3. unsur ruang khusus (special part); 4. unsur jaringan sirkulasi (circulatory part). Hasil penelitian Sjoberg dan Stanislawski di atas, bisa mendasari asumsi berikut ini: Pada dasarnya kota-kota pra-industri di manapun mempunyai struktur dasar perkotaan yang sama, maka pengetahuan pembangunan kota dan patokan penataannya dapat dipinjam dapat dipinjam untuk pembangunan kota lain. Secara hipotetis kemudian dapat dikatakan bahwa segenap bentuk pengetahuan, konsep, dan patokan tata ruang kota yang dipinjam dari ‘orang lain’, dalam penerapannya bagi masyarakat ‘sendiri’ akan memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Ada atau tidaknya pengaruh luar terhadap pertumbuhan kota: Pertama, penganut teori difusi (diffusion) atau penyebaran gagasan dan temuan teknologi (dispersionist atau diffusionist) dalam perkembangan kota. Kedua, penganut keyakinan akan adanya simpul-simpul komunitas di muka bumi ini yang secara mandiri memiliki akal unggul (inventionist) pendorong lahirnya kotakota dapat dilihat melalui dua golongan, yaitu golongan pertama, terjadinya kota merupakan regional. Namun lahir dan terjadinya sebuah gejala berantai, antar budaya dimuka bumi, berupa penyebaran. Pengembangan kota dipandang sebagai suatu cara untuk untuk mengatasi persoalan demografis dan geografis setempat. Golongan kedua, lahirnya suatu kota berdasarkan pemikiran atau penemuan masyarakat setempat, tanpa dipengaruhi faktor luar. Kelahiran kota disuatu wilayah dipandang sebagai peristiwa independen terhadap pengaruh luar.
Syarat utama kota praindustri
Dalam pemikiran
Syoberg (1960), ada tiga prasyarat utama untuk dapat lahir dan berkembangnya kota praindustri, yaitu 1, adalah lingkungan ekologis yang mendukung; 2, adalah teknologi, dan 3, adalah organisasi yang memiliki struktur kekuasaan (power structure) nyata. Ketiga persyaratan di atas harus dipenuhi untuk melahirkan entitas komunitas yang disebut kota dapat dilihat melalui kerangka konsepsional kota praindustri: - lingkungan ekologis berupa lahan yang sesuai serta kondisi iklim yang cocok sangat diperlukan bagi kehidupan penduduk; dan - teknologi pertanian mendukung budidaya pertanian, mengatasi kebutuhan pergerakan manusia. Apa yang oleh Gordon Childe (1957), disebutkan sebagai “pekerjaan umum” (public works) meliputi prasarana perkotaan, seperti jalan, persediaan air (water supply) dan pematusan (drainage), kompleks permukiman dan bangunan-bangunan umum peribadatan, candi dan monumen-monumen. Organisasi sosial yang cukup maju sebagai wahana ekonomi dan politik. Definisi kota praindustri menurut Spiro Kostof (1992) berkaitan dengan persoalan ruang, adalah: suatu tempat berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumberdaya, tergantung kepada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan. Batasan kota di atas lebih luas, dibanding rumusan sebelumnya yang diketengahkan oleh: Louis Wirth (1938); Gordon Childe (1957); Paul Wheatly (1975); Lewis Mumford (161); dan Giedeon Sjoberg (1965). Penelitian Giedeon Sjoberg (1965) dan Spiro Kostof (1992), memberikan rangkuman kesimpulan hipotetis yang lebih luas, di antaranya, yaitu bahwa kota-kota praindustri di mana saja, di Eropa, di India atau di Cina, mempunyai pola dasar keruangan yang sama, baik berkaitan dengan struktur sosial maupun struktur ekonomi, kecuali bagi unsur kota yang memiliki kandungan nilai budaya khusus. Adanya nilai budaya yang bersifat khas dalam masyarakat kota praindustri akan lahir pola kota yang khas pula.
Pola kota papan catur
Pola kota papan catur yang populer disebut grid-iron pattern atau grid-pattern. Pola kota ini ditemukan, pertama kali digunakan sebagai pola kota
Mohenjo Daro, wilayah sebelah barat India kuno (Stanislawski, 1946). Secara teoritis pemakaian pola ini didasari atas dua macam pertimbangan (Stanislawski, 1946): Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi (rectangular). Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street). Dari Mohenjo Daro, pola kota ini menyebar ke berbagai wilayah, ke arah barat ke negara-negara Timur Tengah, seperti Yunani dan Romawi serta kemudian, ke negara Eropa lainnya, danke arah timur, meliputi bagian India lainnya, dan Cina. Penyebaran tersebut juga disertai segenap konsepsi, nilai manfaat strategis beserta persyaratannya. Selanjutnya, Stanislawski (1946) merumuskan beberapa butir pokok pola kota papan catur berikut ini: Pertama, pola kota papan catur dikembangkan sebagai bagian dari pemusatan kekuasaan yang mengendalikan segi-segi kehidupan masyarakat (centralized control), terutama kontrol pemanfaatan tanah. Kedua, pola kotakota yang baru dibangun sekaligus, dan tidak pernah untuk diterapkan dalam kasus pembangunan kembali (redevelopment) kota lama. Ketiga, pola papan catur dapat diterapkan dalam pembangunan kota-kota satelit atau kota berstatus koloni, seperti layaknya kotakota. Keempat, pola ini cocok untuk menyiapkan gubahan ruang kota yang menghendaki bagian-bagian ruang yang seragam bentuk dan ukurannya, terutama untuk bangunan gedung berbentuk rektangular. Kelima, agar pemanfaatan pola kota ini dapat memenuhi harapan, maka penguasaan konsepsi dan pengetahuan dibalik wujud fisik dan spasial pola kota papan catur dipergunakan hanya pada entitas induk dan anak permukiman adalah sangat penting.
Pola ruang kota berpusat dan melingkar
Pola tengah dan lingkaran tepian kota (centered and circular pattern) sebenarnya merupakan gambaran sederhana tentang gejala keruangan kota memusat, yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomis, politis, dan budaya. Pada era praindustri, gejala keruangan kota juga bisa dikaitkan dengan fungsi pokok kota, seperti fungsi politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Pola sirkular, yang lahir kemudian merupakan upaya alternatif untuk menghindari pola ruang geometris yang cenderung kaku kurang individual, namun kemudian pemanfaatan pola sirkular untuk mewadahi pandangan kosmologis. Paham ini bahkan menempatkan penguasa atau raja pada kedudukan puncak pada pusat lingkaran pengaruh kuasa, yang dikenal dengan lingkar mandala. Konsep kosmologis dalam penataan kota atau permukiman selalu dikaitkan dengan agama dan kebudayaan Hindu, Budha, India, dan Cina. Tata ruang kosmologis merupakan bagian kelompok tata ruang simbolis dan menjadi utama dalam pengejawantahan nilai-nilai budaya. Dominasi faktor kuasa politis adalah penggerak utama lahirnya pola ruang memusat pada kota-kota praindustri, yang disebabkan oleh kedekatan (proximity) politis kelompok elit kuasa yang diterjemahkan ke dalam kedekatan spasial. Perkantoran, bangunan keagamaan dan tempat tinggal para pejabat dan kerabat kerajaan di sekitar istana atau kreton. Gejala sentralisasi ruang kotakota, pengaruh elitis ini semakin kecil praindustri sangat menonjol. Semakin jauh dari pusat
Sejarah perkotaan sebuah pembelajaran
Kota besar seperti Roma dan London telah ada ribuan tahun, di era modern semenjak tahun 1800, telah menjadi bagian yang signifikan dari populasi total masyarakat yang berdiam di perkotaan. Pada tahun 1800, sekitar 3% dari
populasi dunia tinggal di perkotaan, dari sekitar 5000 atau lebih; Di tahun 1900 proporsi tersebut meningkat menjadi 13,6%. Great Britain, membawa perhatian dunia, dengan urban proportion mencapai 80% di tahun 1921.
Apakah dimaksudkan kota lebih menarik dalam masyarakat kita, dibanding pada periode awal sejarah?
Apakah naiknya konsentrasi dari penduduk dimaksudkan bagaimana mereka berpikir dan bertindak?
Di era modern, mengapa beberapa kota tumbuh dan menjadi makmur dan lainnya mandek atau menurun?
Bagaimana kehidupan di metropolis, city, atau town berbeda dari kehidupan di village atau country?
Membangun kota di abad ke-20-an
Kota dan modernisme
a. Proses dari urbanisasi
Perkembangan perkotaan di abad ke-20 ditandai dengan munculnya giant urban agglomeration, housing millions of residents, dan spread out an immense amount of space. Jumlah terbesar adalah di Asia (lima kota) dan Amerika Latin (empat kota), dipimpin oleh Tokyo-Yokohama dengn 27 juta, dan Mexico City dengan 21 juta.

b. Bentuk urban

Aglomerasi besar selalu berhubungan pada “city-regions”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jane Jacobs. Aglomerasi ini termasuk keduanya, pusat kotakota.
Bentuk dari city-region mempunyai karakter; - pada pusat kota lama; - konsentrasi yang sangat besar dari corporate towers; - dalam suburban; - kepadatan tempat tinggal rendah dan commercial sprawl; dan - pusat perbelanjaan sering kali di tengah. Sekarang dinamakan “Edges Cities”, “technoburbs”, yaitu merupakan:- kombinasi high-tech business, - dan beberapa fungsi-fungsi tempat tinggal serta komersial, - serta jauh dari pusat kota yang asli. City-regions umumnya bukan karena political, tetapi dibuat oleh lusinan pemerintah lokal yang berjuang dengan penuh semangat untuk mempertahankan independen dari pemerintah pusat,dan mereka bukan keseluruhan dari bagian unit sosial dan ekonomi yang sama. Ada empat karater dari American suburbanization: 1. low residential density; 2. high home ownership rate; 2. jarak yang tajam antara pusat kota yang relatif miskin dan wealthy suburbs; dan 3. the long length of daily journey to work.

c. Arsitektur modern
Arsitek dan perencana berpengaruh terutama sekali dalam menetapkan bentuk kota di abad ke-20.
Para modernis menolak penggunaan historical allusion dalam arsitektur, dalam prinsip desain yang berhubungan pada bentuk-bentuk industri “machine aesthetic”. Pengaruh dari Le Corbusier (1887~1968), yang menekankan purity of form dalam desain.

d. Lansekap sosial
Percampuran etnik dan ras di kota-kota besar Kanada secara dramatis telah berubah dalam lima tahun terakhir (British dan Franch di Montreal).
Corak multikultural dari kota-kota besar tidak seperti kota-kota kecil, towns, dan countryside, yang membuat sangat kontras antara mereka dan metropolis. lama dan komunitas suburban yang baru, yang telah tumbuh jauh melewati batas
Persepsi budaya dalam urbanisme
Persepsi kebudayaan dari kota-kota dapat digunakan pertama, untuk antropologi seperti ditegaskan oleh Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktivitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah, masyarakat di perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di mana budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik.
a. Urbaniti sebagai sebuah budaya
Lewis Mumford
dalam The Culture of Cities (1938) melakukan pendekatan interdisipliner antara lain ahli filosofi, sejarah, kritik sastra, sosial, kritik arsitektur, dan perencana: 1. Dalam pandangannya, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat. Kota……adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti; 2. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu; 3. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan
“greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways; 4. Max Weber, dengan peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah; 5. Dalam Community Design and the Culture of Cities (1990), Eduardo Lozanourbanity sama seperti city dengan civilization. Argumentasinya, bahwa urbane community (komunitas yang berbudi) adalah salah satu yang menawarkan wargakota berbagai lifestyles – kesempatan untuk memilih, bertukar dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnya dari sejarah perkotaan, seperti order (aturan) dan diversity (perbedaan), harus diintroduksi kembali ke dalam kota-kota yang berkharakter membosankan dan membingungkan. William Sharpe dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City (1983), dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya sebagai pemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan kesadaran modern; 6. Contoh lain adalah issue spesial dalam Journal of Urban History berjudul “Cities as Cultural Arenas”. Beberapa tingkat dari urban self-perception menjelajah dari kota pencerahan (enlightenment) abad ke-18 ke idea kota “decomposition” di abad ke-20; 7. Konsep provokatif dari urbanity yang menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas (Thomas Bender). Bender percaya bahwa, notion dari komunitas bukan salah satu yang efektif dapat diterapkan pada pusat-pusat perkotaan yang besar, bila oleh komunitas dimaksudkan ikatan dari penduduk dari kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai. Argumentasinya, bahwa notion of the city secara kolektif didasari oleh perbedaan daripada kesamaan. melihat
b. Seni sebagai budaya
Hubungan antara kota-kota dan budaya dikembalikan pada asal dari kota itu sendiri. Penataan perkotaan memberikan kekayaan, kesenangan, dan konsentrasi dari penduduk yang kreatif memproduksi seni seperti di Renaissance Florence. 1.Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya; 2. Menurut Jon Caufield, beberapa lukisan terlihat “menangkap atau melambangkan aspek krusial dari pengertian kota baru”; 3. Public art secara tradisional memberikan rasa pada kota sebagai dunia kolektif dan tempat berbagi. Selalu terdapat patung yang menyimbolkan figur-figur mitologi sebagai even yang penting bagi negara atau kota pada masa lalu. Modernisme cenderung untuk menghancurkan peran budaya dari public art dengan merusak gagasan dari ruang publik sebagai lahan bersama. Ahli perkotaan
c. Warisan sebagai budaya Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Di Amerika Utara, permukiman perkotaan selalu diberikan prioritas untuk tumbuh daripada mempertahankan masa lalu. Gertrude Stein menaksir kota-kota di wilayahnya merupakan tipikal dari perilaku modernis: New York, San Fransisco, dan Cleveland. Puncak pelanggaran terjadi di tahun 1960-an ketika beberapa bangunan di seluruh wilayah dihancurkan dengan alasan bahwa sudah lama bertahan dalam perjalanannya dan tidak dapat diselamatkan nilainya. Apa yang disebut dengan “paradigm shift”, yang juga terjadi di tahun 1960-an, yaitu wargakota dan para professional untuk melihat kota-kota dengan cara pandang baru. Sebagai contoh, Jane Jacobs dalam The Death and Life of Great America Cities (1961) mengatakan, praktek perencanaan konvensional dengan memberikan saran/usulan/anjuran bahwa resep atau ketentuan perencana untuk merevitalisasi kota-kota pada kenyataannya akan membunuh mereka sendiri.
Sebagai contoh: - Di New York, lahan/tanah menjadi pertempuran hebat melawan real estate, yang memandang preservasi bangunan bersejarah sebagai pelanggaran dari properti (milik) mereka. - Penghancuran stasiun Pensylvania di tahun 1963, walaupun secara luas dikampanyekan untuk dilindungi, surat kabar New York Times mengutuk hal itu sebagai
“monumental act of vandalism…..

Sumber Pustaka
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Catanese, A. J. & J. C. Snyder. 1989. Perencanaan Kota. Eds. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.
Evers, H.-D. & R. Korff 2002. Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gallion, A. B. & S. Eisner 1992. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hermanislamet, B. 1999. Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi, Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Lynch, K. (1987). Good City Form. Cambridge: The MIT Press.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar sosiologi kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Peresthu, A. 2004. Globalisasi dan Transformasi Urban. Network: ALFA-Ibis Research
Spreiregen, P. D. 1965. Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company.
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.
Yunus, H. S. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Elemen perancangan kota

Bab I
Pendahuluan

1.1 Perancangan Kota
Perancangan Kota ( Urban Design) : menitikberatkan pengguna (user). Fasilitas pelayanan umum di lapangan, bentuk-bentuk aktivitas, infrastruktur dll. Karakteristik Perancangan Kota (Urban Design) sulit dibedakan dengan perencanaan kota secara luas, sehingga beberapa konsep yang dikemukakan oleh Yokio Nishimura (1999) bahwa ada elemen-elemen urban design yang dapat membedakan dengan jelas dengan desain yang lain: Bagaimana menentukan langkah awal untuk mengevaluasi kedudukan dan sejarah ruang-ruang kota tersebut? Pendekatan yang terbaik dalam urban design adalah mempertimbangkan aspek sosial yang berkaitan dengan ruang- ruang kota yang ada. Urban design didasarkan pada persepsi dari ruang-ruang kota (urban spaces) sebagai objek yang dapat direkayasa atau dimodifikasi. Sehingga perlu strategi yang dapat menciptakan bentuk yang melebihi keadaan semula, seperti usaha revitalisasi elemen peninggalan yang ada di kota dengan memperhitungkan perubahan fisik penting dan pengaruh terhadap kegiatan penghuninya. Urban design merupakan bagian dari kota, sehingga fungsi dari perancangan tersebut harus berkaitan dengan fungsi- fungsi bagian kota yang lain, dan secara menyeluruh merupakan bagian dari jaringan yang ada. Urban design dapat merefleksikan strategi kebijakan secara integral, sehingga tidak terjadi ketimpangan program dalam pembangunan. Urban design tidak hanya merupakan konsep estetika, tetapi suatu proses pengambilan keputusan termasuk aspek sosiologi kota dengan mengacu pada strategi global. Oleh karena itu perencanaan kegiatan harus jelas tujuannya, berdasarkan prediksi pada masa mendatang . Hasil dari urban design menitikberatkan pada masalah yang penting atau mendesak bagi kehidupan manusia dan kegiatan kotanya. Urban design adalah suatu bentuk perancangan yang berkelanjutan dan tidak akan pernah selesai (never ending movement), persoalan baru selalu ada setiap saat seiring dengan tuntutan kebutuhan manuasia yang selalu berkembang dengan teknologi yang semakin modern. Urban design terdiri dari desain perangkat keras (hard ware) dan desain lunak (soft space). Perangkat keras merupakan desain fisik, sedangkan perangkat lunak merupakan alat control efektif. Perubahan struktur ruang kota secara internal dapat dicapai dengan pendekatan terhadap perilaku dari individu-individu penghuni kota tersebut. Keterkaitan antara perangkat keras dan lunak merupakan satu konsep yang harus diperhitungkan dalam perancangan kota (urban design)

1.2 Ruang Publik Sebagai Elemen Perancangan Kota
Berbicara masalah elemen dalam Urban Design, terdapat banyak pendapat yang berlainan. Ada yang berpikir bahwa masalah utama dalam urban design adalah faktor keindahan, sehingga elemen yang perlu dipikirkan antara lain: pepohonan, perabot jalan, paving, trotoar, penerangan, tanda-tanda asesori kota dan sebagainya. Lingkup urban design seperti yang telah diketahui, merupakan bagian dari proses perencanaan kota yang berkaitan dengan masalah kualitas fisik lingkungan. Dalam praktik tidak dapat sepenuhnya memasukkan semua elemen atau komponen kota ke dalam objek perancangan yang sudah terbentuk sebelumnya, karena akan mengalami berbagai kesulitan. Ruang-ruang yang berada di antara bangunan disebut ruang publik dalam urban design.
Design Plan di San Francisco lahun 1970 yang berusaha menghubungkan 4 kelompok ruang-ruang; (1) Bentuk dan kesan secara internal (internal pattern and image), (2) Bentuk dan kesan secara eksternal (externalform and image), (3) Parkir dan sirkulasi (circulation and parking), lebih berkaitan dengan melihat jalan dan karakteristiknya, baik dari aspek kualitas perawatan, luasan, susunan, kemonotonan, kejelasan dari rute, orientasi ke tujuan, aman, kemudahan sirkulasi, persyaratan parkir dan lokasinya. (4) Kualitas lingkungan (quality of environment) (Shirvani, 1985; Darmawan, 2003). Dalam menilai Kualitas Lingkungan delapan faktor yang harus diperhatikan yakni: (1) kecocokan dalam penggunaan lahan, (2) keberadaan elemen-elemen alami, (3) arah ke ruang terbuka, (4) pandangan yang menarik dari tampak potongan membujur jalan, (5) kualitas dari sudut-sudut pemandangan, (6) kualitas perawatan, (7) kebisingan, dan (8) klimatologi. Dulu para desainer lebih memperhatikan aspek internal pattern image dan external form and image (Gifford.R, 1987; Heimsath.C,1980), karena kedua aspek ¡ni lebih berorientasi pada aspek fisik dalam urban design- Terutama elemen fisik yang lebih spesifik seperti plaza, mall, area tempat duduk, pohon-pohon, lampu-lampu hias atau elemen lain yang spesifik bagi lingkungan masyarakat setempat. Beberapa analisis terhadap elemen urban design menghasilkan beberapa variasi bentuk. kebijakan, perancangan, pedoman perancangan, program lain di kota-kota yang berlainan. Dari beberapa pengalaman dalam praktik, untuk menentukan elemen-elemen dalam urban design yang saling terkait satu dengan yang lain. Hamid Shirvani (1985), menentukan elemen urban design dalam delapan kategori sebagai berikut: ( I ) Tata guna lahan. (2) Bentuk bangunan dan massa bangunan (Krier.R, ! 979), (3) Sirkulasi dan ruang parker (Childs.M. 1999) (4) Ruang terbuka. (5) Jalan pedestrian
1.3 Tipologi Ruang Publik
Dari perkembangan sejarah, ruang publik kota memberi pandangan yang lebih luas tentang bentuk variasi dan karakternya. Pengertian ruang publik secara singkat merupakan suatu ruang yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, dan budaya. Sikap dan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi juga berpengaruh terhadap tipologi ruang kota yang direncanakan. Asesori ruang publik yang harus disediakan semakin berkembang, baik dari segi kualitas desain, bahan dan perawatannya. Misalnya: papan-papan informasi dan reklame, tempat sampah, telpon boks, lampu-lampu, dsb. Tipologi ruang publik ini memiliki banyak variasi yang kadang-kadang memiliki perbedaan yang tipis sehingga seolah-olah member pengertian yang tumpang tindih (overlapping). Menurut Stephen Carr (1992) ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe dan karakter sebagai berikut:
A. Taman Umum (Public Parks)
Berupa Lapangan / taman di pusat kota dengan skala pelayanan yang beragam sesuai dengan fungsinya. Tipe ini ada tiga macam yaitu : Taman Nasional {National Parks). Skala pelayanan taman ini adalah tingkat nasional, lokasinya berada di pusat kota. Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang memiliki peran sangat penting dengan luasan melebihi taman-taman kota yang lain, dengan kegiatan yang dilaksanakan berskala nasional. Di samping sebagai landmark Kota Jakarta juga dapat sebagai Landmark nasional, terutama tugu monument yang didukung dengan elemen asesori kota yang lain seperti air mancur, jalan pedestrian yang diatur dengan pola-pola menarik, di samping taman dan penghijauan di sekitar kawasan tersebut (Simonds.J.O, 1961). Taman Pusat Kota (Downtown Parks) Taman ini berada di kawasan pusat kota, berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi pohon-pohon peneduh atau berupa hutan kota dengan pola tradisional atau dapat pula dengan desain pengembangan baru. Areal hijau kota yang digunakan untuk kegiatan- kegiatan santai dan berlokasi di kawasan perkantoran, perdagangan, atau perumahan kota. Contohnya lapangan hijau di lingkungan perumahan atau perdagangan/perkantoran.
• Taman Lingkungan (Neighborhood Parks)
Ruang terbuka yang dikembangkan di lingkungan perumahan untuk kegiatan umum seperti bermain anak-anak, olahraga dan bersantai bagi masyarakat di sekitarnya. Contohnya taman dikompleks perumahan.
• Taman Kecil (Mini Parks),
Taman kecil yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan, termasuk air mancur yang digunakan untuk mendukung suasana taman tersebut. Contonhnya taman-taman di sudut-sudut lingkungan/setback bangunan.

B. Lapangan dan Plasa (Squares and Plazas)
Merupakan bagian dari pengembangan sejarah ruang publik kota plaza atau lapangan yang dikembangkan sebagai bagian dari perkantoran atau bangunan komersial. Dapat dibedakan menjadi Lapangan Pusat Kota (Central Square) dan Plasa pengikat (Corporate Plaza).
a) Lapangan Pusat Kota (Central Square)
Ruang publik ini sebagai bahan pengembangan sejarah berlokasi di pusat kota yang sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan formal seperti upacara-upacara peringatan hari nasional, sebagai rendevous point koridor-koridor jalan di kawasan tersebut. Di samping untuk kegiatan-kegiatan masyarakat baik sosial, ekonomi, maupun apresiasi budaya. Contohnya adalah alun-alun Kota Purworejo (Darmawan, 2003).
b) Plaza Pengikat {Corporate Plaza)
Plaza ini merupakan pengikat dari bangunan bangunan komersial atau perkantoran, berlokasi di pusat kota dan pengelolaannya dilakukan oleh pemilik kantor atau pemimpin kantor tersebut secara mandiri.
C. Peringatan (Memorial)
Ruang publik yang digunakan untuk memperingati memori atau kejadian penting bagi umat manusia alau masyarakat ditingkat lokal atau nasional, (contoh Tugu pahlawan Surabaya, Tugu Muda Semarang).
D. Pasar (Markets)
Ruang terbuka atau ruas jalan yang dipergunakan untuk transaksi biasanya bersifat temporer atau hari tertentu. Contoh : kegiatan pasar krempyeng (sementara) yang berlokasi di depan Java Mall dan Pasar Petcrongan Semarang di waktu fajar.
E. Jalan (Streets)
Ruang terbuka sebagai prasarana transportasi. Menurut Stepen Carr (1992) dan Rubeinstein.H (1992) tipe ini dibedakan menjadi Pedestrian Sisi Jalan (Pedestrian Sidewalk), Mal Pedestrian (Pedestrian Mall), Mal Transit (Mall Transit), Jalur Lambat (Traffic Restricted Streets) dan Gang Kecil Kota (Town Trail).
a) Pedestrian sisi jalan (Sidewalk Pedestrian)
Bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang sedang berjalan kaki menyusun jalan yang satu yang berhubungan dengan jalan lain. Letaknya berada di kiri dan kanan jalan.
b) Mal Pedestrian (Pedestrian Mall)
Suatu jalan yang ditutup bagi kendaraan bermotor, dan diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut biasanya dilengkapi dengari asesori kota seperti pagar, tanaman, dan berlokasi dijalan utama pusat kota. Contoh : Harajaku depan stasiun TV NHK Jepang setiap hari Minggu pagi.
c) Mal Transit (Transit Mali)
Pengembangan pencapaian transit untuk kendaraan umum pada penggal jalan tertentu yang telah dikembangkan sebagai pedestrian area.

d) Jalur Lambat (Traffic Restricted Streets)
Jalan yang digunakan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan desain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lamban, disamping dihiasi dengan tanaman sepanjang jalan tersebut atau jalur jalan sepanjang jalan utama yang khusus untuk pejalan kaki dan kendaraan bukan bermotor.
e) Gang Kecil (Town Trail)
Gang-gang kecil ini merupakan bagian jaringan jalan yang menghubungkan ke berbagai elemen kota satu dengan yang lain yang sangat kompak. Ruang publik ini direncanakan dan dikemas untuk mengenal lingkungan lebih dekat lagi. Contoh : kawasan wisata Brugess di Belgia atau kawasan Menara Kudus (Darmawan,2003; Rubeinstein.H, 1992)
F. Tempat Bermain (Playground)
Ruang publik yang berfungsi sebagai arena anak-anak yang dilengkapi dengan sarana permainan, biasanya berlokasi di lingkungan perumahan. Tipe ini terdiri dari Tempat Bermain (Playground) atau Halaman Sekolah {Schoolyard). (Darmawan, 2005; Simonds.J.O, 1961)
• Tempat Bermain (Playground)
Ruang publik ini berlokasi di lingkungan perumahan, dilengkapi peralatan tradisional seperti papan luncur, ayunan, dan fasilitas tempat duduk, disamping dilengkapi dengan alat permainan untuk kegiatan petualangan.
• Halaman Sekolah (Schoolyard)
Ruang publik halaman sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas untuk pendidikan lingkungan atau ruang untuk melakukan komunikasi.
G. Ruang Komunitas (Community open space)
Ruang kosong di lingkungan perumahan yang didesain dan dikembangkan serta dikelola sendiri oleh oleh masyarakat setempat. Ruang komunitas ini berupa taman
masyarakat (Community Garden). Ruang ini dilengkapi dengan fasilitas penataan taman termasuk gardu pemandangan, areal bermain, tempat-tempat duduk dan fasilitas estetis lain. Ruang ini biasanya dikembangkan di tanah milik pribadi atau tanah tak bertuan yang tidak pernah dirawat (Cullen, 1986).

H. Jalur Hijau dan Jalan Taman (Greenways andParkways)
Merupakan jalan pedestrian yang menghubungkan antara tempat rekreasi dan ruang terbuka, yang dipenuhi dengan taman dan penghijauan.

I. Atrium/Pasar di Dalam Ruang (Atrium/Indoor MarketPlace)
Tipe ini dibedakan menjadi dua yaitu atrium dan pasar/ pusat perbelanjaan di pusat kota (Market Place/ downtowshopping center) (Darmawan, 2005).
• Atrium
Ruang dalam suatu bangunan yang berfungsi sebagai atrium, berperan sebagai pengikat ruang-ruang di sekitarnya yang sering digunakan untuk kegiatan komersial dan merupakan pedestrian area. Pengelolaanya ditangani oleh pemilik gedung atau pengembang/investor.
• Pasar/pusat perbelanjaan di pusat kota (market place/downtown shopping center).
Biasanya memanfaatkan bangunan tua yang kemudian direhabilitasi ruang luar atau ruang dalamnya sebagainya, ruang komersial. Kadang-kadang dipakai sebagai festival pasar dan dikelola sendiri oleh pemilik gedung tersebut
J. Ruang di Lingkungan Rumah (Found/NeighborhoodSpaces)
Ruang publik ini merupakan ruang terbuka yang mudah dicapai dari rumah, seperti sisa kapling di sudut jalan atau tanah kosong yang belum dimanfaatkan dapat dipakai sebagai tempat bermain bagi anak-anak atau tempat komunikasi bagi orang dewasa atau orang tua.

K. Waterfront
Ruang ini berupa pelabuhan, pantai, bantaran sungai, bantaran danau atau dermaga. Ruang terbuka ini berada di sepanjang rute aliran air di dalam kota yang dikembangkan sebagai taman untuk waterfront (Torre.L.A, 1989).

Menurut Shirvani.H{ 1985:57), ada 6 kriteria desain tak terukur antara lain:
a. Pencapaian (access)
Access memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan bagi para pengguna untuk mencapai tujuan dengan sarana dan prasana transporatasi yang mendukung kemudahan aksesibilitas yang direncanakan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan pengguna sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam menjalankan aktivitasnya. Fasilitas untuk aksesbilitas ini hendaknya dalam perencanaan dan perancangannya memperhatikan tatanan, letak, dan sirkulasi, dimensi (Lynch, 1976).
b. Kecocokan (compatible)
Kecocokan adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi, kepadatan, skala dan bentuk masa bangunan.
c. Pemandangan (view)
Pemandangan berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan. View dapat berupa landmark. Nilai visual ini dapat diperoleh dari skala dan pola serta warna, tekstur, tinggi dan besaran.
d. Identitas (identity)
Identitas adalah niiai yang dibuat atau dimunculkan oleh objek (bangunan/manusia) sehingga dapat ditangkap dan dikenali oleh indera manusia. //lí/e/i/íiydikenal juga dengan citra (Darmawan, 2003).
e. Rasa (sense)
Rasa kesan atau suasana yang ditimbulkan. Sense ini biasanya merupakan simbol karakter dan berhubungan dengan aspek ragam gaya yang disampaikan oleh individu/kelompok bangunan atau kawasan (Lynch.K, 1976;Steele.F, 1981).


f. Kenyamanan (Inability)
Kenyamanan adalah kenyamanan untuk tinggal atau rasa kenyamanan untuk tinggal atau beraktivitas di suatu kawasan/obyek (Darmawan, 2003)

1.4 Teori Desain Ruang Kota
Kota merupakan satuan wilayah yang merupakan simpul jasa distribusi, berperan memberikan pelayanan pemasaran terhadap wilayah pengaruhnya, luasnya ditentukan oleh kepadatan jasa distribusi yang bersangkutan (bukan pengertian kota dengan administrasi Pemerintah,tetapi berkaitan dengan jaringan jalan)
Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota
Salah satu bentuk keberhasilan pembentuk place adalah seperti aturan yang dikemukakan Kevin Lynch untuk desain ruang kota:
a. Legibillity (kejelasan)
Sebuah kejelasan emosional suatu kota yang dirasakan secara jelas oleh warga kotanya. Artinya suatu kota atau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas mengenai distriknya, landmarknya atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola keseluruhannya.
b. Identitas dan susunan
Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang lainnya, sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya kemudahan pemahaman pola suatu blok-blok kota yang menyatu antar bangunan dan ruang terbukanya
c. Imageability
Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya.
d. Visual and symbol conection
o Visual conection
Visual conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan visual antara satu bangunan dengan bangunan lain dalam suatu kawasan, sehingga menimbulkan image tertentu. Visual conection ini lebih mencangkup ke non visual atau ke hal yang lebih bersifat konsepsi dan simbolik, namun dapat memberikan kesan kuat dari kerangka kawasan
Dalam pengaturan suatu landuse atau tata guna lahan, relasi suatu kawasan memegang peranan penting karena pada dasarnya menyangkut aspek fungsional dan efektivitas. Seperti misalnya pada daerah perkantoran pada umumya dengan perdagangan atau fungsi-fungsi lain yang kiranya memiliki hubungan yang relevan sesuai dengan kebutuhannya.

o Symbolic conection
Symbolic conection dari sudut pandang komunikasi simbolik dan cultural anthropology meliputi:
 Vitality
Melalui prinsip-prinsip sustainance yang mempengaruhi sistem fisik, safety yang mengontrol perencanaan urban struktur, sense seringkali diartikan sebagai sense of place yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang merupakan tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang memiliki keunikan dan karakteristik suatu kota.
 Fit
Menyangkut pada karakteristik pembangkit sistem fisikal dari struktur kawasan yang berkaitan dengan budaya, norma dan peraturan yang berlaku


Bab II
Pembahasan
2.1 Elemen Dasar Kota
Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu:
• Paths (Direction)
Adalah jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan. Setiap kota mempunyai jaringan jalur utama (mayorontes dari sebuah lingkungan, jaringan jalur minor. Jaringan jalan raya kota adalah jaringan paths untuk keseluruhan kota
Contoh paths pada kota Denpasar misalnya jalur pejalan kaki dan jalan raya (Jl. Gajah Mada dan sekitarnya)

• Edges (Territorial Boundary)
Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan. Pinggiran dari sebuah districts atau batas-batas districts antara districts yang satu dengan yang lainnya. Edges berupa dinding, pantai hutan kota, sungai dan lain-lain.
Contoh edges pada kota Denpasar misalnya dinding pada gedung-gedung pertokoan di Jl.Gajah Mada dan jalur pepohonan/tanaman, Sungai Badung

• Districts
Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.
Contoh districts pada kota Denpasar adalah kawasan Gajah Mada (meliputi Pasar Badung dan komplek pertokoan di Jl. Gajah mada)

• Nodes
Adalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik.
Contoh Nodes pada kota Denpasar misalnya bundaran pada Patung Catur Muka dan Perempatan di Jl. Gajah Mada


• Landmark
Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.
Contoh landmark pada kota denpasar misalnya Patung Catur Muka dan Patung Puputan Badung .



2.2 Elemen Asesori Kota
Secara umum elemen asesori kota dikelompokkan menjadi :
a. Asesori kota yang bertujuan menambah keindahan kota
Contoh; Taman kota ( Lapangan Puputan Badung)

b. Asesori kota untuk tujuan penerangan
Contoh; Lampu taman/ jalan

c. Asesori kota untuk berbagai tanda khusus
- Yang bersifat directional (penunjuk arah)

- Yang bersifat informational (informasi)

- Yang bersifat identification (identitas)

- Yang bersifat regulatory (pengaturan)

d. Asesori kota untuk fungsi-fungsi yang lain, seperti untuk menambah estetika, kebersihan, tempat istirahat, jasa, telekomunikasi, dsb.
Misalnya, , bangku taman, tempat sampah, pot tanaman, kotak pos, telepon umum


BabIII
Penutup

3.1 Kesimpulan
• Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota yaitu Paths (Direction), Edges (Territorial Boundary), Districts, Nodes, Landmark.
• Paths (Direction) adalah jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakan
• Edges (Territorial Boundary) adalah elemen yang berupa jalur memanjang yang menjadi batas antara districts yang satu dengan yang lainnya
• Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.
• Nodes adalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda.
• Landmark
Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.
• Secara umum elemen asesori kota dikelompokkan menjadi 5 yaitu asesori kota yang bertujuan menambah keindahan kota, asesori kota untuk tujuan penerangan, asesori kota untuk berbagai tanda khusus, asesori kota untuk fungsi-fungsi yang lain.










Daftar Pustaka



teori urban desain « pReSty LaRaSati.htm
forumdetil.asp.htm
Balchin, P., N., Isaac, D. and Chen, J., Urban
economics; a global perspective, Palgrave,
Hampshire, 2000.

Habitat, An urbanizing world; global report on
human settlements 1996, Oxford University
Press, New York, 1996.

Habitat, Cities in a globalizing world; global
report on human settlements 2001, Earthscan Publications Ltd, London, 2001.

Sassen, S., The global city , Princeton University Press, New Jersey, 2001.

Jangan Lupa Tinggalkan Jejak (Like & Coment)