Minggu, 19 Februari 2012

LOLODA, NGARA MA BENO

Sejarah sosial di Maluku dimasa lampau tidak dapat dipisahkan dengan gerak perdagangan internasional, dimana rempah Cengkih merupakan salah satu komoditi utama yang menggerakan perdagangan antara dunia barat dan timur. Rempah cengkeh dan pala yang dihasilkan oleh Maluku-lah yang membawa kepulauan Nusantara berinteraksi secara penuh ke dalam jaringan perniagaan dunia selama berabad-abad. Kepulauan Maluku, yang terdiri dari pulau-pulau utama - yang berfungsi i sebagai produsen rempah Cengkeh dan Pala dikala itu – sebagaimana tercatat dalam sejarah adalah : Ternate, Tidore, Moti, Makian, Bacan dan Halmahera, keberadan pulau-pulau ini semakin penting sejak ditemukannya jalan ke Maluku oleh bangsa Cina, Arab, Persia dan kemudian oleh bangsa Barat, maka lahirlah bentuk organisasi politik di Maluku yang mengatur jalinan kekuasaan berupa Kerajaan, yang sekaligus juga untuk meresponi masuknya Maluku dalam jaringan perniagaan dunia.
Salah satu kekuatan ini adalah kerajaan Loloda di pulau Halmahera, disamping kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. PUTRA NAGA Kerajaan Loloda yang berada didaratan pulau Halmahera ini, tidak diketahui sejak kapan mulai muncul dalam panggung sejarah. Dalam catatan Historiografi kuno, seperti yang dicatat oleh bangsa Portugis di tahun 1544. Dalam catatan ini kita mendapatkan cerita tentang asal-usul raja-raja di Maluku yang berasal dari Empat Telur Naga yang ditemukan oleh seseorang yang bernama Bikucigara (Biksu Sigara ?) di bawah rimbunan pohonan bambu. Kemudian telur naga tersebut di bawah pulang, dan dari telur itu, lahirlah Tiga anak laki-laki dan seorang perempuan.
Dijelaskan lebih lanjut dalam catatan itu, bahwa ke-empat anak itu :
  • Tertua menjadi raja di Bacan;
  • Kedua menjadi raja di Papua;
  • Ketiga menjadi raja di Buton-Banggai, dan:
  • Keempat, anak perempuan kawin dengan raja Loloda.
Dalam versi berbeda, seperti yang dicatat oleh Coolhaas, dalam kroniek van Het Rijk Batjan, dikisahkan bahwa Sultan Bacan yang pertama, Said Muhammad Baqir bin Jafa’ar Shadiq yang bergelar Sri Maha Radja Yang Bertahta di Bukit Sigarah, dari perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela, mendapatkan Tujuh putra-putri. Disebutkan bahwa putra yang bungsu, Kaicil Komalo Bessy Suatu ketika terjadi banjir besar, semua anak raja hanyut dibawa air bah, salah satunya adalah Kaicil Komalo Bessy, putra bungsu terdampar di sebelah Utara dan kemudian menjadi raja di Loloda (Halmahera).
Keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di Maluku jelas sudah merupakan suatu keniscayaan. Dari sejumlah sumber yang ada, dimana secara tersirat menunjukan kedudukan Loloda yang sangat penting dalam suatu periode sejarah masa lampau di Maluku. Dari kedua versi diatas, bila kita membandingkannya, maka akan menghasilkan beberapa kesimpulan yang menarik.
Pertama, dari cerita diatas, Ternate, Tidore dan Jailolo belum disebut namanya. Kenyataan ini menyiratkan tentang kedudukan yang lebih utama Loloda, dari kawasan lain di Halmahera Utara. Kedua, suatu penekanan pada aspek lain, yaitu tentang hubungan elemen-elemen Loloda yang Non-Austronesian dengan Bacan yang Austronesian.
Pada kedua sumber informasi diatas, kita menemukan suatu perbedaan yang tajam dalam melihat hubungan Loloda dan Bacan. Pada Catatan pertama, hubungan antara Bacan (sebagai Kekuatan Maritim tertua di Maluku) dengan Loloda melalui saudara perempuan sedangkan pada catatan berikutnya, hubungan ini dikukuhkan melalui garis laki-laki. Ketiga, Fakta diatas ini memperlihatkan betapa pentingnya Loloda, dimana Bacan sebagai salah satu kekuatan maritm yang bertumpu pada perdagangan rempah tertua itu masih memerlukan suatu ikatan politis dengan kawasan Loloda yang nota bene sangat berbeda dalam pengelompokan bahasa – namun lewat mitos ini Bacan diterima secara penuh dalam bingkai Moloku Kie Romtoha.
NGARA MA BENO Setelah Islam menjejaki kakinya di jazirah Moro-Tia dan Moro-Tai, konstelasi politik-pun berubah, baik itu pola maupun struktur kekuasaannya pun ikut bergeser - mengikuti kecenderungan baru ini. Loloda sebagai salah satu kekuatan lama terdesak oleh Jailolo si pendatang baru yang giat melaksanakan Islamisasi. Kekuatan baru ini, bersama Ternate terus mengancam posisi Loloda di Halmahera yang selama ini Loloda berfungsi sebagai salah satu dari ke-Lima Momole yang paling berpengaruh di Maluku. Adapun kedudukan Loloda adalah sebagai Ngara Ma Beno atau Penguasa Pintu Gerbang dalam konsepsi kekuasaan tradisional Sejak kedatangan bangsa barat ke Maluku abad ke-16, berbagai data dan informasi tentang keadaan Maluku, bahwa setibanya Portugis di Ternate tahun 1512, Ternate bersama Tidore telah mengukuhkan supremasi kekuasaan yang meliputi wilayah yang sangat luas, yakni terbentang antara Irian dan Sulawesi. Sedangkan keterangan tentang Loloda sangatlah sedikit yang diketahui, secara tersamar diberitakan bahwa kerajaan Loloda telah memindahkan eksistensinya ke alam gaib! yang dikemudian hari dikenal dengan nama MORO!!! Adapun wilayahnya yang luas meliputi sebagian daratan pulau Halmahera itu direbut oleh Jailolo – yang sudah menggantikan kedudukan Loloda di daratan Halmahera yang luas itu.
Dari sumber-sumber lokal didapatkan cerita tentang keberadaan Loloda, dimana disebutkan bahwa asal mula Loloda itu berasal dari suatu kerajaan tua yang pernah berkuasa di Galela. Konon, kemudian di tahun 1322, setelah gunung berapi di Galela meletus dan mengancam kehidupan disana, maka, pusat kerajaan itu dipindahkan ke Loloda. Kepindahan ini terjadi pada masa Kolano Bakun Malamo, penguasa Galela terakhir.
Keterkaitan antara Loloda dengan kekuasaan lain di Sulawesi, dapatlah dilacak dari sejarah raja-raja Bolaang Mongondow. Kajian sejarah yang ditulis oleh W. Dunnebier, menjelaskan bahwa asal-usul kerajaan Bolaang Mongondow berpangkal pada seorang tokoh legendaris yang hidup di abad ke XIV bernama Loloda Mokoagow – tokoh ini diduga merupakan anak dari raja Loloda yang melarikan diri ke Sula Wessy karena negerinya diserang oleh Kumalo Poeloe, penguasa Ternate. Peristiwa ini terjadi diperkirakan pada tahun 1380. Setibanya anak raja Loloda ini - di suatu tempat yang dikenal dengan nama kuno : Maadon ( Kema, Sulawesi Utara ). Dari tokoh ini-lah merupakan cikal-bakal yang menurunkan raja-raja Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara.
Secara Linguistik, Loloda dalam bahasa Ternate itu berarti : Tempat Orang Pindahan. Bila kita meneliti lebih jauh dari kata ini, Loloda berasal dari kata Lodaka yang bermakna : “Orang Pindahan” Dengan demikian, dapatlah disimpulkan (kata) Loloda itu mengandung suatu makna yang secara tepat menggambarkan suatu peristiwa alam yang berkaitan dengan bencana alam yang dahsyat di masa lampau sehingga terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran di waktu itu.

Tokyo Kecil di Jazirah Halmahera Utara

KAO menyimpan bukti sejarah PD-II. Tempat ini pernah menjadi markas besar tentara Jepang sejak 1942 - 1945. Saat itu tentara jepang dibagi dalam dua pasukan yaitu 42.000 tentara bermarkas di Kao dan 20.000 tentara lainnya bermarkas di Teluk dalam (Kao Teluk). Karena banyaknya tentara Jepang yang mendarat dan bermukim di Kao maka daerah itu dijuluki The Little Tokyo (Tokyo Kecil) atau Tokyo kedua.
Di tempat ini pada masa perang dunia ke-II, kurang lebih 300 ahli bom bermarkas. Pemandangan sepanjang ruas jalan diluar daerah Kao terdapat lebih dari 60 meriam anti pesawat terbang dan mobil-mobil. Saksi sejarah, yang juga ketua adat setempat, mengisahkan peristiwa perang pada waktu itu, dimana banyak pesawat tempur Amerika yang ditembak jatuh. Lebih dari 100 budak wanita asal Hongkong, Singapura, China, Jawa dan Manado ditempatkan pada barak-barak tempat hiburan.
Setelah perang usai dengan kejatuhan kota Hiroshima dan Nagasaki, suplay bahan makanan untuk tentara jepang terhenti. Persedian makanan mereka menipis hingga akhirnya habis. Hal ini menimbulkan bencana bagi masyarakat pribumi, karena Tentara jepang beralih mengkonsumsi makanan masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan ratusan masyarakat mati kelaparan.
Kini saksi bisu sejarah peninggalan Jepang dapat kita temui di Kao. Ada yang sudah dipugar, diantaranya 4 buah meriam anti pesawat terbang yang masih berdiri kokoh mengahadap ke udara, walau kondisinya sudah mulai karatan. Meriam tersebut pada masanya digunakan untuk melindungi lapangan udara di bagian timur laut.
Sampai saat ini, lapangan terbang yang memiliki banyak landasan pacu ini masih digunakan. Tahun 1986 lokasi ini direnovasi dan kemudian diberi nama "Kuabang". Nama ini diambil dari nama seorang pahlawan lokal bernama Kuabang.
Lapangan terbang Kuabang Kao saat ini melayani penerbangan komersial Kao-Ternate, Kao-Manado dengan pesawat jenis Cassa dan Twin Otter.

Jangan Lupa Tinggalkan Jejak (Like & Coment)