Senin, 31 Desember 2012

Suku Tobaru

MENDALI KAPITA TOBARU
Gambar yang dicantumkan di jilid depan dan belakang buku ini adalah gambar medali yang dimiliki satu keluarga orang Tabaru. Rupanya, Sultan Ternate memberikan medali ini kepada nenek moyang keluarga itu, kepada Hadi yang menjadi Kapitan Perang pada masa penjajahan Belanda. Medali ini disebut "Nederlands Koninklijk Wapen" yang merupakan "Lambang Kerajaan Belanda." Medali seperti ini diberikan hanya kepada orang yang paling berani dan jago berperang. Di depan medali ini, selain gambar beberapa singa dan mahkota adalah tulisan dalam bahasa Prancis, yaitu: JE MAINTIENDRAI, yang berarti "AKU AKAN BERTAHAN". Di belakang medali ini ada tulisan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab. Bahasa Belandanya adalah: Aan Hadie Kapitein van Tobaroe Ternaatsch Halmaheira ter belooning van zijne aan het Nederlansch Indisch Goüvernement bewezene goedediensten by de Ceramsche Expeditie in 1858. Terjemahan bahasa Belandanya adalah: Kepada Hadie Kapitan Tobaru dari Ternate, Halamahera, sebagai anugerah atas jasa baik yang diberikannya kepada Pemerintah Hindia Belanda dalam Ekspedisi Seram pada tahun 1858. Bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab dapat ditulis dengan huruf bahasa Indonesia sebagai berikut: Kepada Hadi, Kapita Tabaru, wilayah Halmahera, akan menjadi pembela dan pekerjaannya yang baik kepada Gubernemen Hindi Nederland ketika perang Seram pada tahun 1858. Ukuran medali perak ini adalah: Diameternya: 5.6 centimeter. Ketebalannya: 4 milimeter.

Rabu, 30 Mei 2012

Di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimbah bersama sultannya yang legendaries itu.

Selain itu menurut Resley, kata “Alifuru” yang merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal dari bahasa Arab (Alif), Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke XIV, sudah ada bangsa yang mendiami kepulauan Maluku yang penyebarannya dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”. Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) dan Halmahera yang memiliki budaya atau system pemerintahan “ALLUF” yaitu: kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku.  Alluf dalam pengertian Ibrani adalah: Panglima, pemimpin 
Dalam perjalan sejarah Maluku Utara, tidak terlepas juga dengan orang alifuru, yang mana mereka direkrut oleh Sultan Babullah (Ternate) dan Sultan Nuku (Tidore) untuk melawan kaum penjajah  yang pernah mendiami Maluku Utara. Namun tidak banyak penulis yang bijak untuk mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi.
Tahun 1570 Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.  Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya beliau menemukan bangkai kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter). Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Kora-kora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi. 
Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Alifuru yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Sultan Nuku. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prins Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa. Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.


Sumber : http://ivnemh.blogspot.com/2012/04/suku-terasing-di-halmahera-maluku-utara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Jangan Lupa Tinggalkan Jejak (Like & Coment)